Jumat, Maret 29, 2024

Kenapa Menjadi Ustadz Populer Harus Berbohong?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Adam Ibrahim namanya, diberi gelar ustadz oleh masyarakat sekitar, Depok, beserta kawan-kawannya harus mengarang cerita tentang “babi ngepet” untuk menaikkan popularitasnya. Adam mengaku cerita babi ngepet ini dibuat untuk merespon tetangga-tetangganya yang kehilangan uang. Adam memastikan bahwa kehilangan uang ini memang karena ada warga yang memilihara babi ngepet. Dengan rekayasa yang dibuatnya beserta kawan-kawannya mereka menyempurnakan ceritanya. Cerita babi ngepet seperti ini tidak hanya meresahkan warga namun juga menimbulkan fitnah di kalangan warga.

Dalam kesempatan ini saya tidak ingin menyoroti soal babi ngepet, namun soal bagaimana bisa seorang ustdaz tega mengarang sebuah cerita bohong seperti ini demi popularitas yang ingin dicapainya. Untuk apa sebenarnya mencapai popularitas dengan membuat cerita bohong bagi seorang ustadz?

Belajar dari cerita bohong soal babi ngepet ini yang dikarang oleh seorang ustadz ini, nampaknya kita memang sedang mengalami krisis dalam dunia keagamaan kita. Di era media sosial seperti ini, popularitas nampaknya menjadi keharusan bagi seorang ustadz. Menyampaikan pesan-pesan keagamaan ke masyarakat secara diam-diam dan biasa saja, nampaknya tidak cukup.

Menjadi populer adalah target para ustadz. Okelah, jika popularitas itu mereka dapatkan karena materi keagamaan yang mereka sampaikan memang berhasil dinikmati oleh khalayak ramai, maka popularitas yang demikian tidak menjadi masalah besar. Popularitas yang dicapai karena konten dakwahnya yang bagus, maka itu compliment bagi sang ustadz. Namun, jika popularitas itu dicapai dengan merekayasa sebuah cerita, jelas tindakan itu tidak bisa dianggap benar. Tetap cara seperti itu berdampak buruk pada umat yang didakwahinya.

Namun demikian, saya berpendapat, berniat ingin menjadi populer itu saja merupakan persoalan yang krusial bagi seorang ustadz atau mubalig. Di dalam agama, menjadi ustadz atau mubalig itu harus diniati secara ikhlas. Idealnya seperti itu. Mengajar agama, secara ideal, harus benar-benar dijalankan karena pengabdian kepada Allah.

Ikhlas adalah kunci utama. Kalau ada ustadz dan mubalig yang mengajar dan berdakwah demi popularitas diri mereka, maka mereka mendapatkan popularitas itu. Mereka tidak akan mendapatkan imbalan dari Allah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, ketika Rasulullah berhijrah dari Mekkah ke Madinah, Rasulullah memberikan semacam warning kepada para sahabat yang ingin berhijrah ke Madinah.

Rasulullah mengatakan, sesungguhnya segala amal perbuatan kita itu tergantung pada niat kita, dan setiap orang akan dibalas bergantung pada niat mereka, maka barang siapa yang berhijrah demi Allah dan Rasulnya maka hijrahnya itu untuk Allah dan RasulNya, barang siapa berhijrah karena ingin meraih dunia maka kehidupan dunialah yang akan mereka dapatkan, atau berhijrah demi mencari isteri, maka orang itu akan menikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan yang dia niatkan (hadis Bukhari).

Jika kita menengok pada hadis di atas, jelas bahwa tujuan popularitas itu tidak akan mendapatkan ridla Allah. Menjadi populer untuk diri mereka sendiri. Para ustadz dan mubalig pasti sudah mengetahui hadis di atas, namun popularitas memang godaan dakwah dan penyampaian ajaran agama yang nampaknya sulit untuk dihindarkan.

Namun, itu semua sebenarnya kembali lagi kepada pribadi-pribadi ustadz dan mubalig. Tidak semua dari mereka yang bertujuan untuk mencari ketenaran atau kemasyhuran di dalam profesi mereka. Masih banyak dari mereka yang ikhlas, seperti yang dilakukan oleh kyai-kyai dan pendakwah-pendakwah kampung. Mereka mengajar di pesantren dan berdakwah terus di masyarakat karena mereka memang ingin menyampaikan pesan-pesan keagamaan mereka.

Banyak dari mereka yang melakukan dakwah dengan mempertahankan idealisme-idealisme mereka. Mereka mengajar di pesantren agar mereka bisa mendidik para santri untuk meneruskan keilmuan keagamaan. Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan material dan kehidupan namun tetap saja mereka menjalan tugas mereka sebagai ustadz dan pendakwah. Bahkan, mereka terus berjalan meskipun dunia tidak mengenalnya.

Para utadza, kyai, mubalig yang ikhlas ini akan ikut terusak citra mereka dengan apa yang dilakukan oleh orang seperti ustadz Adam Ibrahim ini. Sudah barang tentu Adam Ibrahim ini contoh kecil saja. Masih banyak Adam Ibrahim Adam Ibrahim lainya yang rela membuat hoax karena untuk populer. Jika kita telesuri akar masalahnya, sudah barang tentu banyak hal menyebabkan itu terjadi. Salah satunya adalah bagaimana sikap kita yang diajari dan didakwahi.

Sebagai catatan, jika kita ingin mengurangi orang-orang seperti ustadz Adam Ibrahim, maka kita harus melakukannya bersama-sama. Seorang ustadz atau mubalig memang sering menjadi panutan kita, namun mereka adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan. Dari sisi masyarakat, kita bisa mendidik dan mengkritik ustadz-ustadz yang senang membuat hoax dengan cara langsung memperingat mereka. Kritik masyarakat secara langsung nampaknya merupakan cara yang efektif agar ustadz-ustadz pembuat kabar hoax menjadi jera.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.