Berita mengejutkan datang dari Purwakarta. Bupati Anne Ratna Mustika ini menutup Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Alasan yang mengemuka adalah gereja ini tak berizin dan karenanya keputusan yang diambil adalah menutup gereja ini untuk menghindarkan konflik sosial.
Mengapa tindakan seperti ini terus terjadi? Bukankah para pimpinan daerah sudah pernah diberi wejangan oleh Presiden Jokowi agar mereka berhati-hati untuk kasus ini dan menjaga kebebasan beragama.
Jika melihat tindakan Bupati Anne Ratna Mustika nampaknya dia lebih menjaga reputasinya sebagai Bupati dengan menuruti tekanan ormas. Wejangan Jokowi kalah dengan suara organisasi masyarakat yang tidak menghendaki gereja ini berada di wilayah itu.
Pada waktu penyegelannya Bupati Anne menggunakan landasan hukum SKB tiga Menteri. Memang ada semacam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri No 9 dan No 8 tahun 2006 yang mengatur masalah ini. Meskipun landasan hukum SKB dipakai sebagai argumen, namun saya melihatnya sebagai hal yang lemah apabila dibandingkan dengan isi wejangan Presiden Jokowi.
Ketika berbicara masalah Peraturan Daerah atau peraturan-peraturan lain di bawah UU, Jokowi mengatakan jangan sampai itu semua melanggar kebebasan beragama. Kebebasan beragama itu diatur oleh Konstitusi kita secara jelas dan gamblang. Hal-hal lain di bawah UU jika bertentangan isinya dengan UU maka itu semua harus digugurkan.
Namun sayang sekali, Bupati Anne malah tunduk dengan tekanan Ormas. Selayaknya jika mereka –jamaah gereja ini–kurang memiliki hal-hal yang disyaratkan dalam perizinan, maka hal yang dilakukan oleh Bupati adalah melakukan gerakan afirmasi agar gereja ini bisa legal dan resmi dipakai oleh mereka, bukannya menyegel.
Peran sebagai Bupati pada dasarnya adalah memberikan pelayanan pada seluruh warga mereka terutama pelayanan agar mereka bisa memiliki kebebasan dalam menjalankan agama tanpa memandang suku latar belakang mereka, apakah dari kelompok mayoritas ataupun kelompok minoritas.
Saya tidak tahu persis apakah Bupati Anne Ratna Mustika ini benar-benar tidak mengetahui bahwa konstitusi kita menjamin hak mereka untuk beribadah sesuai dengan keyakinan mereka atau dia memang di bawah tekanan organisasi masyarakat.
Memang ada semacam jalan keluar yang ditawarkan oleh Bupati Anne agar jemaat GKPS ini beribadah di gereja lainnya. Anjuran ini nampaknya bijak namun justru dengan anjuran ini Bupati Anne kurang memahami persoalan denominasi di dalam agama ini. Meskipun sama-sama Kristen, tapi di dalam Kristen ada Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Di dalam Protestan pun denominasinya bermacam-macam dan masing-masing denominasi ini memiliki cara ritualnya sendiri-sendiri.
Saya melihat bahwa banyak dari pemimpin daerah kita yang memang tidak memiliki pengetahuan mengenai agama dan keyakinan di luar keyakinan mereka. Namun itu sesungguhnya bukan masalah besar jika mereka mengerti prinsip-prinsip konstitusi kita yang sudah pasti menjamin kebebasan beragama. Masalah akan menjadi rumit jika mereka tidak keduanya. Masalah akan menjadi lebih rumit lagi jika mereka mengerti keduanya, agama lain dan konstitusi, namun pengetahuan akan keduanya tidak digunakan untuk memproduksi kebijakan yang respek pada agama dan keyakinan lain dan sudah barang tentu konstitusi.
Saya tidak tahu persis dalam konteks Bupati Anne ini. Apakah beliau mengambil kebijakan penyegelan GKPS ini. Apakah karena beliau tidak memahami bagaimana denominasi dalam Kristen dan Kekristenan? Apakah beliau menganggap bahwa kebijakan yang beliau ambil sudah sesuai dengan konstitusi karena beliau memakai landasan SKB Kemenag dan Kemendagri?
Hal yang jelas, sebagaimana muncul dalam pemberitaan di berbagai media, prakondisinya adalah konflik sosial. Artinya, penyegelan itu dilakukan karena takut menimbulkan konflik. Logika yang saya pahami GKPS dianggap sebagai potensi konflik karena keberadaan gereja ini tidak mendapatkan izin sepenuhnya dari masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar dalam hal ini adalah masyarakat mayoritas. Memang, dalam media, nampak dukungan masyarakat mayoritas begitu nampak.
Namun apakah hal seperti ini cara menyelesaikan masalah rumah ibadah? Saya sering melihat pemimpin daerah ketika dihadapkan pada masalah pendirian rumah ibadah kelompok minoritas menggunakan cara mudah dan tidak beresiko. Tunduk pada tekanan mayoritas selalu menjadi alasan utama di balik penyegelan.
Kasus seperti ini sebenarnya juga tidak hanya terjadi pada kalangan minoritas Kristen, namun juga pada minoritas Islam dan minoritas lainnya. Di dalam kelompok Islam sendiri misalnya juga kelompok mayoritas Islam menekan dan mengawasi kelompok minoritas Islam lainnya dalam hal rumah ibadah. Lihat kasus penyegelan masjid-masjid yang dimiliki oleh minoritas Muslim Ahmadiyah.
Jika masalahnya di banyak tempat ini sudah terlihat jelas misalnya soal izin masyarakat sekitar, penggunaan dasar hukum yang hanya sampai pada SKB, tekanan mayoritas dlsb, kenapa di sini tidak ada kepala daerah yang berani mengambil resiko untuk menggunakan konstitusi sebagai landasan mereka.
Bagaimana mengatasi masalah rumah ibadah ini yang berdasar pada konstitusi? Pertama, konstitusi adalah pelindung seluruh warga negara. Warga negara di sini tidak dipandang dari keyakinan, agama, ras, dan gender mereka, namun dari kenyataan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Karenanya, apapun agama, ras, dan gender mereka, maka mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusi yang sama. Hak konstitusi mereka adalah jaminan kebebasan menjalankan agama dan keyakinan mereka.
Kedua, karena mereka memiliki hak konstitusi maka jika ada masalah kekurangan perizinan yang diproduksi oleh aturan di bawah konstitusi maka mereka seharusnya diadvokasi atau dibantu agar mereka bisa memenuhi izin. Siapa yang harus membantu mereka, ya pemerintah di pelbagai levelnya.
Ketiga, para pemimpin daerah seringkali melakukan offsite dalam hal urusan agama. Dalam UU Otonomi Daerah bukankah agama itu menjadi wewenang pemerintah pusat untuk mengatasinya? Dalam hal ini Kementerian Agama adalah representasi dari pemerintah pusat.
Menariknya, masalah GKPS ini secara resmi Kementerian Agama menyatakan penyesalan atas penyegelan gereja ini. Masalahnya adalah apakah penyesalan Kementerian Agama sebagai wakil Pemerintah Pusat ini akan menjadi pertimbangan Bupati Anne dalam mengevaluasi kebijakan penyegelannya?
Sebagai catatan, masalah rumah ibadah minoritas selalu berulang di hadapan kita dan itu banyak terjadi di daerah. Pimpinan daerah pun seringkali menggunakan argumen hukum dan sosial politik yang sama, namun argumen konstitusi belum pernah dicoba untuk dilaksanakan.