Kita mendengar kabar yang memprihatinkan lagi dari Swedia. Bayangkan, meskipun pemerintah mereka sendiri melarang, Presiden Swedia dalam hal ini, namun pembakaran al-Qur’an tetap dilakukan. Apa pun alasannya, jelas situasi ini tidak membuat dunia makin kondusif. Presiden Swedia sendiri merasa sangat khuwatir atas konsekuensi yang ditimbulkan oleh pembakaran kitab suci umat Islam ini.
Pada bulan Januari 2023 lalu, Rasmus Paludan, politisi berhaluan ekstrim kanan Denmark juga sudah membakar al-Qur’an. Kalangan agamawan Kristen dan Yahudi juga menyampaikan reaksi keras mereka. Atas tindakan ini Peter Fischer-Moller, yang menjadi Bishop untuk Roskilde, Denmark sejak 2008 sampai 2022, menganggap bahwa mereka yang membakar Bible, al-Qur’an dan Taurat adalah orang-orang idiot. Sementara Jair Melchior, peimpin Rabbi Denmark menganggap aksi Paludan sebagai keinginannya untuk mencari popularitas.
Kini pembakaran al-Qur’an terjadi lagi di Swedia dan mungkin akan terjadi di tempat lain juga. Sekali lagi ini adalah tindakan yang kurang menghargai agama-agama, bukan hanya Islam, namun juga Kristen dan Yahudi, karena al-Qur’an menghubungkan Islam dengan kedua agama ini. Kali ini, saya ingin melihat bagaimana dalam sejarah pembakaran kitab suci dan juga buku-buku terkait Tuhan dan agama yang terjadi dalam sejarah.
Baiklah. Sebuah manuskrip yang ditulis oleh Nabi Jeremiyah (Nabi kalangan Hebrew) dibakar oleh Raja Jehoiakim. Nabi Jeremiyah dari Anathoth ini menulis dalam manskripnya jika Raja Babylon akan membakar tanah Judah sementara Raja Tanah Judah adalah Jehoiakim. Karenanya Jehoiakim memrintahkan membakar manuskrip tersebut dan sekaligus menahan Jeremiah. Cerita terjadi 600 tahun sebelum Era Kekristenan.
Buku Protagoras, filosof Ateis, dibakar oleh penguasa Athena. Para penguasa tidak senang pernyataan-pernyataan Protagoras yang menyangsikan adanya Tuhan. Peristiwa ini terjadi pada 490-420 sebelum era Kristen. Persaingan antar sarjana dan intelektual juga bisa menyebabkan pembakaran buku. Kita semua mengenal Plato. Filosof Yunani juga sangat tidak suka dengan buku-buku Democritus. Konon Democritus adalah pesaing Plato sementara Plato sangat dekat dengan otoritas kekuasaan zaman dulu.
Bayangkan buku-buku Plato mampu bertahan 2400 tahun, bahkan sampai sekarang, namun tidak ada buku-buku Democritus yang sampai ke kita karena semua dibakar oleh penguasa yang konon atas pengaruh Plato. Anthiocus IV, penguasa kerajaan Seleucid, memerintahkan agar kitab hukum orang Yahudi dibakar. Ini terjadi pada 168 BC. Gulungan Taurat juga diperintahkan oleh prajurit Romawi untuk dibakar. Pembakaran ini memicu pemberontakan kalangan Yahudi pada kerajaan Romawi.
Dari pelbagai masa, Taurat memang pernah menjadi kitab suci yang sering dibakar oleh para penguasa yang merasa terancam dengan kitab tersebut. Salah satu penguasa Romawi, Hadrian misalnya tidak membolehkan seluruh ajaran kitab Yahudi karenanya dibakarlah kitab tersebut.
Perpustakaan Nalanda yang berisi pengetahuan Hindu dan Budha dibakar seluruhnya oleh penguasa Muslim ketika berkuasa. Peristiwa ini terjadi pada 1193. Perpustakaan Dinasi Samanid juga dibakar oleh pasukan Turki. Konon Ibn Sina adalah orang yang ingin menyelamatkan beberapa naskah dari pembakaran ini. Peristiwa ini terjadi pada abad 11 ketika Turki mulai melakukan invasi dari wilayah arah Timur.
Buku-buku agama Budha juga dihanguskan oleh penguasa Muslim yang berhasil menaklukkan Maldives pada 1153. Penguasa baru ini tidak mau melihat Budhisme berkembang padahal Budhisme sudah menjadi ajaran di wilayah ini sudah ribuan tahun lamanya. Pembakaran buku agama serta kitab suci memang menjadi warna sejarah peradaban manusia. Sejarah yang konon kita anggap agung juga diwarnai dengan pembakaran kitab-kitab atau buku-buku pengetahuan, agama dan juga kitab-kitab suci.
Martin Luther sendiri juga pernah memerintahkan pembakaran buku-buku utama terkait katolisisme di Witternberg, pusat Protestan di Jerman. Instruksi ini terjadi pada tahun 1520. Nampaknya sebagai reaksi atas instruksi Martin Luther, karya Martin Luther juga menjadi obyek pembakaran pada masa Charles V.
Semua buku, cermah dan tulisan kaum Lutheran itu dibakar. Hal ini terjadi pada tahun di sebuah daerah bernama Flanders, wilayah Belgia, pada 1521. Pembakaran ini menyebar ke mana-mana sampai di kawasan Utrecht, Lueven, Musnter, Koln dan lain-lain. Di Antwerp, Belgia, tidak kurang dari 400 buku terkait Lutheran dimusnahkan.
Jika itu terus terjadi pada masa modern seperti sekarang ini, maka sebenarnya itu merupakan pengulangan sejarah pahit. Mestinya manusia modern yang memiliki karakter kebebasan individu yang tinggi tidak sampai jatuh pada aksi-aksi yang meniru masa lalu. Jika itu terus terjadi sampai sekarang, lalu apa beda masa kelam dan masa pencerahan dan bahkan masa modern?
Kembali lagi ke Swedia. Setelah Polisi memberikan izin pembakaran al-Qur’an pada sekitar Juni 2023, lalu izin yang sama diberikan oleh Polisi untuk pembakaran Taurat dan Bible di depan Kedutaan Israel. Izin ini memang diberikan karena bagian dari reaksi terhadap pembakaran al-Qur’an pada Idul Adha lalu. Pemimpin Yahudi dan Kristen juga bereaksi keras atas hal ini.
Pertanyaan kita, sampai batas manakah aksi balas membalas ini terus terjadi dalam kehidupan manusia.
Sampai kapan kita sebagai manusia modern bisa memberikan penghargaan pada siapa saja yang memiliki keyakinan berbeda untuk meyakini dan menjalankan keyakinan dan termasuk keyakinan atas kitab suci mereka. Sebagai manusia modern mampukah kita membuka batin dan otak kita selebar-lebarnya agar tidak mudah men–judge sumber suci keyakinan pihak lain sebagai hal yang harus dimusnahkan. Saya kira kita harus mampu.
Namun pembakaran buku, kutab suci dan sumber-sumber pengetahuan keagamaan seperti ini ternyata juga tidak hanya terjadi pada antar kelompok agama yang berbeda, namun dalam satu payung agama juga bisa terjadi pembakaran atas buku-buku dan kitab-kitab mereka.
Dalam sejarah, orang Protestan membakar kitab-kitab atau sumber-sumber Katolik dan sebaliknya orang-orang Katolik juga membakar kitab-kitab atau sumber-sumber keagamaan Protestan. Bahkan, dalam sejarah standarisasi mushaf al-Qur’an, ketika sayyidina Usman berhasil menyelesaikan proyek kodifikasi Qur’an pada masanya, maka ayat-ayat Qur’an yang masih tersebar di mana diinstruksikan oleh beliau agar musnahkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga standarisasi al-Qur’an yang sudah ada. Mushaf Ushman menjadi mushaf al-Qur’an yang resmi pada masa itu.
Sebagai catatan, umat Islam di Indonesia pantas sekali merasa sedih dan kecewa melihat kitab suci mereka dibakar. Namun tidak usah terpancing dengan tindakan mereka karena melakukan tindakan retaliasi tidak akan menyelesaikan masalah.