Jika benar akan dilaksanakan, maka program kementerian agama dalam melakukan sertifikasi pendakwah atau mubaligh merupakan hal yang patut untuk diapresiasi. Program ini sangat penting sepanjang sertifikasi mubaligh atau pendakwah ini memang ditujukan untuk memperbaiki kualitas dakwah.
Banyak sekali dari kita yang komplain tentang mutu dakwah kita yang semakin hari semakin menurun. Orang mendengarkan ceramah dan pengajian layaknya adalah mendapat ilmu, namun apa yang sering kita jumpai, para pendakwah dan mubaligh justru berdakwah bukan tentang ilmu atau tentang ibadah, namun tentang bagaimana membenci orang yang berbeda, menghardik orang lain, dan lain sebagainya.
Bahkan, banyak orang terprovokasi setelah mendengar dakwah seseorang. Katakanlah model dakwa Nur Sugik, di mana apa yang disampaikan di dalamnya bukan hikmah (kebijaksanaan), namun kebencian. Felix Siauw bahkan mendakwahkan tentang melawan bentuk negara yang sah, yang merupakan kesepakatan seluruh warga negeri. Ini semua adalah kenyataan dunia dakwah yang kita hadapi.
Salah satu mengapa hal ini bisa terjadi, karena selama ini, dakwah bisa dilakukan oleh siapa saja. Indonesia adalah negara yang paling bebas dalam mentolerir panggung dakwah. Apa saja yang mengatasnamakan dakwah, pasti tidak ada larangan dari pemerintah kita saat ini.
Dulu zaman Suharto, kebebasan berdakwah seperti sekarang tidak akan diraih. Karena siapa saja boleh berdakwah, tanpa ada kualifikasi, maka kualitas dakwah kita juga tidak bisa diukur mutunya. Mestinya banyaknya dakwah berbarengan dengan membaiknya perilaku dan moralitas bangsa kita. Namun nyatanya tidak. Dakwah harusnya menyatakan antara yang diucapkan dan dilakukan, namun nyatanya, apa yang kita lakukan berbeda jauh dengan apa yang kita ucapkan.
Dalam era media sosial, orang semakin gampang untuk menjadi pendakwah. Dia tidak harus menunggu orang untuk mengundangnya, namun dia bisa berinisiatif sendiri. Bahkan dari kamarnya sendiri mereka bisa berdakwah ke seantero jagad raya. Fenomena Youtube atau Podcast atau yang lainnya menjadi dakwah semakin mudah saja.
Bahkan menjadi pendakwah tidak harus menjadi kyai atau ulama dulu. Sampaikan sedikit kata-kata yang berbau Islami, atau sepotong pepatah Arab, dan selebihnya mencaki maki Kristen, Cina, Yahudi dlsb, itupun dianggap dakwah.
Saya sering melihat pendakwah tanpa modal sebagaimana yang kita sering jumpai pada diri para mu’alaf yang mendadak menjadi dakwah. Modal yang saya maksud di sini adalah kecukupan ilmu untuk melaksanakan dakwah. Orang modal nekad ini sering kita jumpai di channel-channel dakwah. Dakwah bukan retorika.
Maksudnya, modal hanya pidato berapi-api menyebarkan kebencian namun dibungkus dengan dakwah. Jika situasi seperti ini, maka udara kita akan penuh dengan dakwah-dakwah yang bersisi kebencian, hasutan dan menyesatkan. Namanya juga dakwah, mengajak orang kepada kebaikan, namun isinya justru mengajak orang untuk berbuat sebaliknya.
Karenanya, saya setuju atas gagasan program sertifikasi bagi pendakwah sepanjang ini ditujukan untuk menciptakan dakwah dan juga mubaligh yang berdakwah berdasarkan ilmu dan kompetensi yang terukur.
Dakwah sendiri adalah jenis ilmu, jadi untuk melakukannya harus dipelajari lebih dahulu. Jika program sertifikasi dakwah ini dilakukan, maka saya mengusulkan agar program ini tidak dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator. Kondisi yang paling ideal adalah program ini dilakukan oleh lembaga atau badan yang merupakan kumpulan dari orang-orang yang ahli, kalangan ulama yang berpengetahuan luas dan juga diupayakan untuk mewakili segala golongan-golongan di dalam masyarakat.
Lembaga sertifikasi itu harus berwibawa. Sertifikasi mubaligh ini penting untuk menunjukkan bahwa menjadi mubaligh itu bukan perkara mudah dan orang yang melakukannya tidak bisa tidak harus memiliki keahlian. Dakwah adalah sarana menyebarkan agama dan nilai kebajikan bagaimana jika orang yang menyebarkannya itu tidak mengerti dengan dasar-dasar agama dan nilai-nilai kebajikan tersebut.
Kalau keadaan demikian, maka apa yang terjadi bukannya berdakwah malah memperburuk citra agama kita. Akhirnya, kita sendiri yang dirugikan karena citra kita terlanjur diwakili oleh mubaligh yang tidak memiliki keahlian berdakwah. Kita tidak bisa diam, namun harus melakukan sesuatu karena jika diam maka kita dianggap sama dengan mereka.
Sesungguhnya upaya seperti sertifikasi mubaligh ini tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di negara-negara lain. Mungkin negara lain menggunakan istilah yang tidak sama dengan kita namun isinya senada dengan sertifikasi mubaligh. Di negara-negara seperti Malaysia, Singapore dlsb, dakwah keagamaan bisa dilakukan begitu saja di ruang publik. Segalanya dipertimbangkan karena mereka menganggap bahwa dakwah adalah perbuatan terpuji. Karena ini perbuatan terpuji, maka hal itu tidak mungkin bisa disampaikan oleh sembarang orang. Selain aspek pendakwah, aspek isinya juga benar-benar harus bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Sebagai catatan, meskipun sertifikasi mubaligh dilakukan namun ini tidak boleh dijadikan sebagai larangan untuk orang yang tidak bersertifikat untuk tidak berdakwah. Nantinya, jika sertifikasi mubaligh ini berjalan, maka dunia dakwah itu seperti dunia pasar kerja saja di mana keahlian adalah hal yang akan menentukan pasar dakwah. Peningkatan keahlian inilah yang harusnya menjadi inti dari rencana program sertifikasi muballigh.
Jika masih ada yang menolak sertifikasi dakwah maka itu jangan sampai menjadi halangan dibatalkannya program ini. Orang yang tidak setuju akan program ini berhak untuk menyatakan ketidaksetujuannya, biarkan saja. Namun pemerintah juga berhak melakukan program ini untuk meningkatkan kehidupan kebangsaan yang sehat. Menuju bangsa yang sehat dengan dakwah yang sehat.