Setelah ada kabar kemungkinan vaksin COVID-19 ditemukan, maka kabar penolakan vaksin itu mulai terdengar. Tanda-tanda itu sudah mulai ada di kalangan masyarakat kita dan permasalahan utamanya berada di sekitar apakah umat Islam dibolehkan menggunakan produk vaksin tersebut?
Pertanyaan itu muncul terutama karena mereka menduga bahwa vaksin COVID-19 disangkakan masih menggunakan bahan “pembantu” yang berasal dari barang haram. Bahan pembantu ini biasanya dari gelatin dan gelatin ini dikembangkan dari enzim babi. Beberapa waktu lalu ketika Rubella mengancam kita, banyak dari kalangan kita yang menolak karena alasan ini. Demikian juga dengan vaksin Meningitis, mereka juga menolak. Jika masyarakat kita dijejali informasi yang kurang dalam tentang halal-haram, maka mereka dengan mudah memakannya.
Bukan hanya persoalan asal-usul barang vaksin, para penolak vaksin juga memiliki pemikiran konspiratif, bahwa vaksin itu jalan dan strategi lawan untuk melumpuhkan umat Islam. Cina, Amerika, Eropa dan lain sebagainya, memproduksi vaksin itu untuk menguasai umat Islam, bukan untuk menyelamatkan manusia. Dengan vaksin itu, tubuh orang Islam dimasuki bahan agar mereka lemah dan tunduk pada mereka. China, dengan bakal vaksin COVID-19 yang diujikan di Indonesia banyak diserang, salah satu alat serangnya adalah alasan yang saya kemukakan di atas.
Gabungan antara pikiran menolak vaksin atas nama agama dan konspirasi adalah hal yang selalu muncul di kalangan kita. Kalangan yang memiliki pandangan keagamaan tertutup dan taklid kepada murabbi-murabbi mereka biasanya menolak vaksin karena alasan yang demikian ini. Mereka tidak berusaha untuk memikirkan masalah pentingnya penemuan vaksin untuk menyelamatkan kehidupan manusia (hifz al-hayat) yang menjadi salah satu tujuan utama syariah.
Untuk para penolak vaksin karena diduga ada unsur non-halal, maka saya katakan bahwa persoalan halal dan haram itu tidak hitam putih dalam teori dan praktiknya. Ada dua madzhab penting dalam penentuan penggunaan barang yang tadinya haram untuk menjadi bahan bantu vaksin.
Pertama, madzhab Imam Syafii yang dikenal sangat ketat dengan masalah halal haram. Menurut Imam Syafii apapun produk makanan, minuman, obat, kosmetika dan lain sebagainya, yang memanfaatkan barang haram, maka hukumya tidak diperbolehkan. Umat Islam Indonesia adalah penganut madzhab ini. Namun untuk masalah yang jika itu penting dan darurat, menyangkut penyelamatan nyawa manusia, maka madzhab Syafiipun memiliki jalan keluarnya.
Untuk kepentingan darurat vaksin yang kemungkinan ada unsur non-halal dibolehkan. Syaratnya adalah memang belum ada vaksin halal dan juga ada upaya untuk membuat vaksin halal. MUI menganut paham ini dan untuk beberapa kasus yang genting seperti soal vaksin Rubella itu terlihat. Meskipun demikian, masih ada sebagian kelompok yang tetap tidak mau memakai vaksin, apapun penjelasan yang sudah diberikan. Mereka memakai logika “pokoknya;” pokoknya kalau vaksin itu tidak diproduksi oleh ahli Islam mereka tetap menolaknya.
Kedua, madzhab Imam Hanafi, dimana yang dilihat adalah bukan pada asal usul barang yang diambil manfaatnya untuk mengembangkan vaksin, namun hasil akhirnya. Apakah pada hasil akhirnya suatu barang itu masih dideteksi unsur non-halalnya atau tidak. Jika di awal proses, katakanlah, menggunakan unsur non-halal untuk membuat obat atau barang yang lainnya, namun jika di ujung hasilnya tidak ada indikasi haramnya (ainiyyahnya, melalui proses laboratorium dan investigasi yang ketat, hasil akhirnya lah yang dihukumi.
Kalau hasil akhir halal ya menjadi halal kalau hasil akhir haram ya menjadi haram. Sebagaimana yang saya katakan di atas, bahwa para penolak vaksin menolak seluruh vaksin karena masih dominanya di dalam vaksin yang diproduksi di dunia ini yang menggunakan gelatin yang diekstrak dari non halal. Namun, banyak dari kita yang tidak tahu bahwa hasil akhir dari produk yang memakai gelatin ini sudah tidak terdeteksi adanya bahan non-halal di dalamnya.
Kita masih ingat kan perdebatan Gus Dur dan MUI pada tahun 2000 tentang Ajonimoto. Gus Dur melihat Ajinomoto sebagai produk yang halal adanya, sementara MUI melihat bahwa Ajinomoto tetap haram. Perdebatan Gus Dur dan MUI ini adalah mewakili perdebatan antara madzhab Syafii dan madzhab Hanafi. Bagi awam yang tidak suka berpikir dalam dan detil, maka mereka senangnya langsung klaim ini dan itu terutama pada Gus Dur, tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dalam perspektif hukum Islam.
Perdebatan halal haram akan datang lagi pada saat vaksin COVID-19 sudah resmi ditemukan. Sikap kita terhadap perdebatan ini sebaiknya adalah mengutamakan kepentingan nyawa manusia karena hal inilah yang dianjurkan oleh agama. Mempertahankan kehidupan adalah hal yang penting. Karenanya, jika memang vaksin COVID-19 ditemukan, maka sikap kita sebaiknya adalah menerima vaksin tersebut.
Secara hukum agama, ada dua jalan yang tersedia untuk tetap dibolehkannya menggunakan vaksin tersebut. Pertama, jalan darurat di mana menurut jalan ini siapa saja yang dihadapkan pada keadaan darurat antara mati tidak menggunakan vaksin dan hidup menggunakan vaksin maka pakailah vaksin tersebut. Banyak dalil yang bisa dijadikan sebagai patokan ini.
Kedua, jalan adalah jalan yang pernah ditempuh oleh Gus Dur bahwa jika vaksin COVID-19 masih memakai misalnya gelatin yang dikeluarkan dari unsur hewani non-halal maka lihatlah hasil akhirnya. Jika hasil akhirnya, karena proses kimiawi yang terjadi misalnya, memang bersih dari unsur non-halal maka memakai vaksin tersebut sangat dibolehkan. Perubahan dari non-halal ke halal karena terjadinya proses tertentu disebut istihalah.
Sebagai catatan, banyak orang dari kita yang bicara soal halal haram namun asal bicara saja. Mereka tidak tahu jika penentuan halal dan haram itu bukan hitam putih, namun banyak hal yang harus kita ketahui kenapa akhirnya sesuatu itu halal dan haram.