Rabu, April 24, 2024

Etnisasi Halal

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Baru-baru ini kita menyaksikan peristiwa yang mungkin agak aneh namun nyata. Seseorang yang membuka warung non-halal masakan Padang menjadi perbincangan bahkan perhatian khusus di dunia publik kita. Anggota DPR RI dari Sumatera Barat memprotes restoran Padang non-halal tersebut karena mengaitkan masakan tersebut dengan masakan Padang, sementara di mata anggota DPR ini masakan Padang itu harus halal. Jika menggunakan nama masakan Padang atau Minang, maka masakan tersebut tidak boleh non-halal, namun harus halal. Dengan bahasa lain, jika tidak halal, maka itu bukan masakan Padang. Sebagai buntut masalah ini, pemilik restaurant Padang non-halal dipanggil polisi.

Dari kacamata kita, persoalan seperti ini mungkin bisa dianggap aneh dan lucu. Bagaimana soal makanan dibawa-bawa ke dalam ruang agama. Tapi inilah yang terjadi. Jadi, ada semacam upaya untuk melakukan etnisasi halal pada Padang. Artinya, semua jenis makanan padang itu itu harus halal.

Dalam perspektif nasional, sejak sertifikasi halal itu menjadi keharusan, banyak hal persoalan yang sebenarnya layak kita bicara secara bersama, bahkan terkait dengan keIndonesiaan. Namun persoalan penting ini tertutup dengan daya tarik halal. Konon pelbagai prediksi mengatakan jika potensi halal luar biasa untuk peningkatan ekonomi kita, Indonesia. Orang berlomba-lomba. Presiden, Menteri dan pejabat-pejabat terkait ikut mempercepat potensi ekonomi halal. Tidak hanya mereka, organisasi-organisasi Islam, perguruan tinggi dan lain sebagainya, dikerahkan untuk mensukseskan Indonesia yang mentargetkan diri sebagai pusat halal dunia pada tahun 2024.

Karena pesona potensi ekonomi inilah sehingga kita lupa bahwa keharusan sertifikasi halal itu menyimpan bara api. Bara api itu antara lain bisa dilihat dari apa yang terjadi pada restoran Padang Non-halal tersebut.

Menurut UU Halal, jika makanan atau produk yang consumable itu mengandung barang yang tidak halal, maka produsen atau penjual tersebut harus mendeklrasikan ke publik bahwa makanan yang mereka produksi itu non-halal, alias tidak boleh dikonsumsi oleh Muslim.

Dari perspektif UU ini, apa yang dilakukan oleh pemilik restoran Padang non-halal tersebut sebenarnya sudah menjalankan pengaturan makanan halal di Indonesia. Karena pada kenyataannya pemilik restoran tersebut memang menjual makanan yang haram karena bahan yang dimakan itu haram.

Bahkan pemilik restoran Padang Non-Halal ini mendeskripsikan alasannya dengan baik bahwa karena kecintaannya pada masakan Padang dia mencoba membuat masakan Padang dikombinasikan dengan bahan non-halal.

Tapi apa boleh dikata, inovasi si pemiliki restoran ini banyak mendapatkan protes dan bahkan dibawa ke ranah hukum oleh kalangan yang merasa itu sebagai upaya merendahkan adat Minang. Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya menyatakan: “Praktik yang dilakukan oleh si pengusaha restoran tersebut jelas-jelas telah mengangkangi dan merendahkan adat dan ajaran agama yang dihormati oleh orang Minang atau Padang.”

Menurutnya, sajian tersebut tak sesuai dengan falsafah hidup orang Minang, yakni ‘adat besandi syara’ dan syara’ besandi kitabullah‘.

Jelas di sini etnisasi halal terjadi di kalangan orang Minang. Mungkin hal ini tidak hanya terjadi dalam konteks rendang saja, namun bisa saja untuk keseluruhan jenis makanan Minang, karena adanya pemahaman di kalangan mereka bahwa masakan Minang harus halal.

Sudah lama saya mengatakan jika UU jaminan produk halal yang menjadikan sertifikasi halal itu sebagai kewajiban akan mengundang banyak masalah. Soal rendang babi ini tidak akan menjadi masalah terakhir nampaknya. Jauh hari sebelum diresmikan UU No 33/2014 protes dari banyak kalangan sudah terjadi. Kalangan non-Muslim terutama tidak terlalu nyaman dengan UU ini. Namun posisi mereka yang minoritas dan dukungan pelbagai kalangan termasuk pemerintah dan DPR yang bulat membuat mereka hanya diam saja. Mereka khuwatir jika UU tersebut akan menimbulkan persoalan di masyarakat terutama kaitannya polarisasi.

Saya sadar bahwa semua agama memang memiliki konsep makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan bahkan agama-agama local memiliki konsep yang mirip halal dan haram. Di Indonesia, agama-agama tersebut memiliki ummatnya masing-masing meskipun umat Islam mayoritas.

Jadi, ketika semua umat beragama memiliki ajaran halal dan haram yang berbeda-beda, lalu negeri ini menjadikan konsep halal dan haram di dalam Islam untuk diadopsi ke dalam aturan negara, maka mau tidak mau akan menjadi kewajaran apabila umat dari agama lain merasa jika mereka diminta oleh negara untuk mengikuti norma makanan dalam konsep Islam.

Keluhan seperti ini, karena tidak banyak disuarakan, sekali lagi menjadi terbenam oleh ambisi kita –umat mayoritas—untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pusat pasar halal di dunia ini.

Meskipun aturan halal ini sudah menjadi ketentuan negara, bukan berarti kita harus mengabaikan pernik-pernik atau dampak yang kurang konstruktif atau membangun, akibat penerapan UU jaminan produk halal, bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai mayoritas, kita harus mencarikan jalan agar aturan halal yang sudah diresmikan negara ini memikirkan hak-hak minoritas di dalamnya. Hak-hak mereka untuk hidup dan mengembangkan produksi dan konsumsi yang tidak dibatasi oleh model produksi dan konsumsi keyakinan lain.

Mengapa sebagai mayoritas, kita umat Islam, harus mencarikan jalan keluar atas masalah pelik ini? Karena kitalah yang memang harus bertanggungjawab sebagai mayoritas yang baik dan bertanggungjawab untuk menerapkan aturan halal kita menjadi aturan yang juga terbuka bagi norma halal dari kelompok minoritas. Apakah ini tidak akan mengurangi kehormatan kita sebagai mayoritas? Saya pikir justru dengan cara ini martabat kita sebagai mayoritas akan naik. Kita tidak mau minoritas kita mendapat tekanan baik dari negara maupun dari kita sebagai mayoritas masyarakat.

Saya pikir kejadian rendang non-halal ini hanya merupakan salah satu peristiwa yang menyebabkan ketegangan yang diakibatkan oleh monopoli aturan konsumsi dan produksi. Jika tidak memungkin untuk melihat kembali masalah ini, maka kita harus mensosialisasikan jika aturan halal negara itu tidak menghalangi martabat konsumsi dan produksi pihak lain.

Sebagai catatan, etnisasi halal sebagaimana yang terjadi pada kasus restoran Padang non-Halal sebenarnya tidak perlu terjadi. Kita tidak bisa membatasi bahwa makanan tertentu itu miliki suku bangsa tertentu. Asal usul sejarah sudah pasti jelas bahwa rendang itu sangat khas, namun membatasi rendang hanya untuk bahan yang halal itu problematik.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.