Jumat, Maret 29, 2024

Dalam Teori Politik Sunni Pemakzulan Tidak Ada

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Persoalan pemakzulan presiden kembali ke permukaan. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah alasan fiqh siyasah. Menurut laporan Koran Tempo I Juni 2020, Prof. Din Syamsuddin mengutip pandangan pemikir Islam, Al-Mawardi, tiga hal bisa menyebabkan kepala negara dimakzulkan.

Pertama keadilan, jika tidak adil, maka seorang kepala negara bisa dipecat. Kedua, pemimpin bisa diberhentikan jika tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Ketiga, kehilangan kewibawaannya dan kemampuan memimpin terutama dalam masa kritis. Benarkah demikian adanya? Bagaimana al-Mawardi membahas masalah ini di dalam kitabnya yang terkenal, al-Ahkam al-Sultaniyyah?

Jika kita ingin mengatakan sebagai sebuah kelemahan konsep politik kepemimpinan di dalam teologi Sunni, maka itu bisa dilihat dari ketiadaannya tentang mekanisme pemakzulan seorang kepala negara. Pemakzulan –dalam bahasa Arab, ‘azlun’—memang tidak dikenal. Pergantian kepemimpinan negara dalam Sunni biasanya karena seorang pemimpin sudah wafat, kalah perang sehigga wilayahnya diambil oleh pemimpin yang lain. Hal ini merujuk pada pola kepemimpinan awal di dalam Islam yang memang tidak mengenal pemecatan. Justru Sunni sangat dikenal dengan teori kesetiaan pada kepala negara.

Di dalam kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah, al-Mawardi mengemukakan dasar kewajiban kepemimpinan pertama, adakalanya wajib menurut agama dan adakalanya wajib menurut akal. Dua pendapat ini sudah ada sejak lama. Lalu al-Mawardi mengatakan jika kepemimpinan di dalam Islam itu kewajiban kolektif (fardu kifayah). Jika ada salah satu dari anggota masyakarkat memiliki kapasitas kepemimpinan dan mau memimpim, maka kewajiban terhapus.

Al-Mawardi membagi dua kelompok dalam proses kepemimpinan. Pertama, adalah mereka yang memilih. Dalam bahasa Arab disebut dengan ahlul ikhtiyar. Kedua, adalah mereka yang dipilih, atau bisa menjadi pemimpin (ahl al-imamah). Al-Mawardi menyatakan bahwa pihak yang memilih itu harus memenuhi beberapa syarat.

Pertama, keadilan yang menyeluruh, artinya, mereka memahami apa itu keadilan dan bagaimana bentuknya. Kedua, orang yang memilih pemimpin negara ini harus memiliki pengetahuan yang menyebabkan mereka bisa memilih siapa pemimpin yang layak atau berhak berdasarkan syarat-syarat yang telah diungkapkan. Ketiga, nalar dan kebijakan yang menyebabkan mereka (ahlul ikhtiyar) bisa memilih pemimpinan negara yang yang lebih aslah (patut) dan lebih kuat dan mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan. Tiga syarat ini adalah bagi pihak yang memilih.

Bagaimana ini dikaitkan dengan sistem tatanegara kita? Kita sudah tidak mengenal lagi ahlul ikhtiyar yang khusus sebagaimana dimaksudkan oleh al-Mawardi, karena sistem politik kita berbeda. Kini kita mengenal sistem pemilihan presiden langsung dimana rakyatlah yang memilih. Lalu bagaimana dengan ahlul imamah (pihak yang dipilih oleh ahlul ikhtiyar) menurut al-Mawardi?

Syarat menjadi pihak yang dipilih menjadi pemimpin bagi al-Mawardi adalah keadilan yang menyeluruh (al-adalah ala syurutiha al-jami’ah). Kedua, mengetahui ilmu yang untuk berijtihad atas fatwa-fatwa (al-nawazil) dan hukum-hukum. Ketiga, keselamatan atau kesehatan panca indera (salamatu al-hawas) seperti pendengaran, penglihatan, dan lisan yang dengan kesehatan ini seorang pemimpinan bisa menemukan secara langsung (mubasyarah) apa yang ditemukannya.

Keempat, anggota badannya selamat (sehat) bergerak dan respon cepat. Kelima, penalaran atau sehatnya penalaran yang membuatnya bisa memimpin rakyat dan juga memikirkan kebaikan-kebaikan untuk rakyatnya. Keenam, keberanian dan memiliki sikap menolong (al-najdah) untuk menjaga negara dan memerangi musuh. Ketujuh, keturunan dari suku Quraish. Menurut manuskrip yang lain, syarat ketujuh ini tidak ada, dihapuskan. Namun jika ada, syarat ketujuh ini biasa ditafsirkan sebagai kelompok mayoritas (Silahkan baca Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Edisi Tahqiq Ahmad Mubarak al-Baghdadi, Kuwait: Maktabah Dar Ibn al-Kutaybah, 1989, h. 3-4).

Menurut pendapat saya, memang bagus melakukan kontekstualisasi teori-teori fiqih siyasah (fikih politik) untuk kehidupan kenegaraan kekinian sebagai landasan moralitas. Namun, mungkin yang dimaksud oleh Prof. Din Syamsuddin dengan tiga hal yang menyebabkan seorang kepala negara bisa dicabut mandatnya itu menurut al-Mawardi ternyata lebih pada ahlul ikhtiyar. Memang persyaratan keadilan itu berlaku untuk keduanya, baik ahlul ikhtiyar maupun ahlul imamah, namun untuk berikutnya lebih banyak pada ahlul ikhtiyar. di atas bukan pemakzulan, namun syarat menjadi ahlul ikhtiyar. Ini bukan proses memilih imam, tapi syarat bagi mereka yang memilih imam.

Namun hal lain lagi bahwa tiga hal yang dikemukakan oleh Prof. Din Syamsuddin di atas itu sesuatu yang harus dipenuhi untuk memimpin. Jika seseorang sudah dipilih menjadi pemimpin, maka syarat-syarat tersebut bukan menjadi alasan untuk azlun. Dalam teori politik Sunni, konsep pemakzulan itu tidak berlaku, yang berlaku adalah konsep ketaatan. Di dalam teori Sunni, ketika seorang kepala negara sudah terpilih, maka kedudukannya menyatu dengan negara. Ada perbedaan pemerintah dan negara. Ini yang menjadikan konsep kepemimpinan menunggu sampai masa berakhirnya.

Bahkan ketika saya mencari adakah istilah pemakzulan (azlun) dalam kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah, ternyata saya tidak menjumpainya. Bahkan al-Mawardi mengutip sebuah pendapat, jika seseorang sudah dipilih menjadi pemimpin berdasarkan syarat-syarat yang ada, maka dua hak yang harus dia dapat, pertama, ketaatan dan kedua pertolongan.

Sebagai catatan, pemakzulan pemimpin negara itu tidak dikenal dalam tradisi Sunni. Menjadikan fiqih siyasah sebagai landasan moralitas politik Indonesia mungkin bermanfaat, namun kita punya konstitusi yang menjadi dasar praktik dan teori ketatanegaraan kita.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.