Setelah fenomena ustadz Evie Effendi yang viral karena bacaan al-Qur’annya yang jauh dari benar dan fasih, padahal dia mengaku berguru pada Rasulullah, kini muncul lagi sebuah video dari seorang ustadz yang mengaku bernama asli Johannes Ignatious. Dia memunculkan dirinya dalam videonya yang juga viral sebagai seorang muallaf.
Tidak tanggung-tanggung lulusan Injil Vatican School Roma Italia dan anak seorang kardinal, di mana semua informasi yang dia kemukakan secara gampang sangat mudah dideteksi kebohongannya. Saya melihat bahwa dakwah model begini, yang meskipun mengandung banyak informasi yang tidak benar dan distortif mungkin tidak akan berkurang, bahkan mungkin akan semakin banyak ke depannya. Pendek kata, dakwah seperti Evie Effendi dan Johannes Ignatious ini berjibun namun asbun (asal bunyi).
Saya amati bahwa ada dua hal pokok yang biasanya menjadi bahan dakwah mereka; pertama, soal ketakutan akan ancaman agama, keyakinan dan ideologi dari luar; kedua, soal bagaimana menjalankan agama yang menurut mereka benar, sesuai dengan sunnah; ketiga, kebencian atas Jokowi.
Untuk yang pertama, sasaran mereka adalah Kristen, China dan PKI. Kristen tetap diaggap sebagai ancaman yang serius. Namun sebagai ancaman yang serius, bahan amunisi yang mereka gunakan untuk menyerang Kristen ya itu-itu saja issuenya, sekitaran bahwa Kristen menyebarkan agamanya dengan memakai uang, banyak doktrin Kristen sudah didistorsikan, soal Yesus, Trinitas dan lain sebagainya.
Sebetulnya, berpikir selalu terancam oleh pihak lain menunjukkan mereka inferior. Dakwah inferior inilah yang membuat mereka memiliki ciri khas asbun –asal bunyi—di atas.
Serangan pada China juga tidak mengalami perubahan yang serius. Dari dulu kisaran persoalannya ya di sekitar penguasaan ekonomi para pengusaha China di Indonesia yang dikaitkan sebagai kepanjangan negara China.
Padahal, orang China di Indonesia itu beda dengan bangsa China. Apabila dulu Amerika dan Barat menjadi musuh utama karena sekarang yang sedang digdaya itu China, maka kini China yang dijadikan sebagai bahan serangan dakwah.
Isu PKI juga terus akan menjadi bahan dakwah mereka ini. Mereka terus menyebar dan ancaman bahaya PKI yang masih ada sampai sekarang. Lalu tidak puas di situ, mereka melebarkan serangan dengan tuduhan bahwa kelompok Muslim lain yang beda dengan cara pandang keislamannya dengan mereka dianggap telah terinfiltrasi oleh PKI. Biasanya NU dan organisasi underbouw-nya yang sering dijadikan sebagai sasaran tuduhan semacam ini.
Kedua, bahan pokok serangan adalah soal keislaman orang Indonesia yang menurut mereka banyak yang sudah keluar dari Sunnah. Setelah doa lalu membaca amin sebagai contoh itu tidak ada tuntunanya, puasa bulan sya’aban, mengadzani bayi lahir juga demikian adanya, dan masih banyak lagi.
Dakwah Asbun mereka memang sengaja mengambil materi dakwah yang secara teologis bisa menyulut keramaian. Rupanya keramaian itu yang dikehendaki, namun ketika pihak yang dituduh memberikan reaksi, maka pelaku dakwah asbun ini menuduh balik bahwa reaksi pihak tertuduh dianggap melanggar hak asasi mereka untuk menyampaikan informasi keagamaan.
Padahal, seringkali pihak merekalah memulai dan memancing kekeruhan. Sasaran dakwah Asbun ini memang diarahkan kepada kaum tertentu, katakanlah NU. Serangan pada tradisi amaliyah-ubudiyah NU dilakukan karena NU adalah organisasi dengan pengikut terbesar di tanah air. Agar dakwah Asbun bisa mendapatkan pengikut maka yang mereka serang adalah NU.
Namun sayang, isu mereka ini tidak mengalami kemajuan, selalu berhenti di situ-situ saja, bid’ah, khurafat, tidak sunnah dan lain sebagainya. Cara demikian bukan menimbulkan simpati namun reaksi yang tidak kalah sengit dari kalangan NU.
Ketiga, dakwah Asbun ini menjadikan Jokowi sebagai pihak yang dianggap merugikan Islam di Indonesia. Ya sejak, Jokowi jadi presiden, anggapan ini terus digaungkan oleh dakwah Asbun terutama bagi mereka yang kepentingannya terhalangi seperti HTI.
Dakwah yang bertendensi menyerang pihak lain ini memang sangat mungkin terjadi, terutama di dalam era media sosial dan kebebasan yang kita alami di zaman sekarang ini. Namun dakwah menyerang tidak sesuai dengan esensi dakwah itu sendiri yang artinya bukan menyerang tapi mengajak.
Agar ajakannya bisa diterima oleh pihak yang kita ajak, maka dakwah itu harus disampaikan secara persuasif, bukan dengan memusuhi dan menyerang. Itu misalnya strategi dakwah. Belum lagi soal isi dakwah yang harus argumentatif, masuk akal, memiliki landasan ilmiah dlsb, agar pihak yang kita dakwahi bisa teryakinkan. Bagaimana bisa meyakinkan orang jika dakwah isinya mengumpat dan marah-marah serta memusuhi pihak yang mau kita ajak.
Karena perkembangan dakwah yang terus makin pesat, agar mutu dakwah tidak asal berjibun dan asbun, beberapa hal perlu dilakukan.
Pertama, lembaga-lembaga keagamaan yang memang sudah terbukti memiliki sumber daya manusia pendakwah yang berkapasitas harus mengerahkan muballigh mereka untuk membuat konten-konten dakwah yang peaceful, berdasar argumentasi agama yang rasional, dan mencari titik temu.
Kedua, kita tahu bahwa dakwah lewat medsos itu hanya bisa dilawan lewat medsos juga, karenanya membanjiri medsos dengan konten-konten dakwah yang positif dan berorientasi pada titik temu adalah hal yang perlu kita tingkatkan.
Sebagai catatan, nampaknya dunia dakwah kita akan dipenuhi terus oleh suguhan-suguhan seperti ini sebagai konsekwensi dari prevalensi penggunaan media sosial. Masyarakat sendiri yang memiliki kemampuan untuk menyaring segala hal yang muncul di akun medsos mereka, jika kita ingin berperan maka sediakan konten-konten dakwah yang mengcounter dakwah Asbun di atas.