Jumat, Maret 29, 2024

Check In Hotel Belum Menikah Bakal Dipenjara?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

RKHUP (Rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana) sudah diundangkan. Meskipun kontroversial, tapi pembuat hukum di Indonesia –Pemerintah dan DPR—memperlancar proses perundangannya.

Masyarakat sendiri nampaknya kurang merespons masalah RKUHP ini. Kali ini saya akan menyorot salah satu atau beberapa pasal yang oleh beberapa kalangan dianggap kontroversial.

Menurut berita yang ramai di media, KHUP ini bisa memenjarakan pasangan yang check in di hotel jika mereka belum menikah. Tanda menikah adalah surat menikah dan banyak pasangan yang sudah menikah, namun ketika mereka pergi ke luar kota dan menginap di hotel banyak yang tidak membawa surat menikah.

Tapi bagaimana sesungguhnya masalah ini harus dilihat? Bukankah rancangan aturan seperti ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap privasi seseorang? Bukankah ini juga bisa dianggap sebagai upaya negara untuk mengontrol rakyatnya sampai pada hal-hal yang seharusnya menjadi urusan pribadi seseorang?

Ketika masalah ini mencuat, pihak pemerintah sendiri membenarkan jika rancangan seperti itu memang ada. Menurut Albert Aries, juru bicara Tim Sosialisasi RKHUP, banyak pihak, termasuk asosiasi pengusaha Indonesia yang kurang memahami masalah ini secara utuh.

Albert mengatakan: “pengaturan tindak pidana perzinaan (Pasal 415 RKUHP) dan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan/kohabitasi (Pasal 416 RKUHP) dimaksudkan untuk menghormati dan melindungi lembaga perkawinan, yang diatur sebagai delik aduan (klach delicten) di RKUHP.”

Dan rancangan ini sifatnya delik aduan. Siapa yang berhak mengadukan? Suami-Istri bagi mereka yang terikat perkawinan dan orang tua anak bagi mereka yang tidak terikat perkawinan. Dengan kata lain, jika mereka tidak mengadukan, maka itu tidak terjadi apa-apa.

Menurut Aries, hal ini semua dirancangkan untuk menghormati lembaga perkawinan. Nampaknya, hal ini didasarkan pada logika bahwa perzinahan atau hidup bersama tanpa menikah itu perilaku yang bisa meruntuhkan lembaga perkawinan, karenanya keduanya harus dilarang secara publik.

Posisi pemerintah dalam konteks ini jelas yakni tidak bisa membiarkan tindakan yang merusak lembaga pernikahan. Tapi jika kita pelajari sesungguhnya faktor yang mendegradasi nilai perkawinan itu banyak, tidak hanya check in di hotel bagi pasangan yang belum menikah atau hidup bersama tanpa menikah, namun masih banyak yang lain.

Katakanlah, apakah seseorang yang sudah memiliki pasangan resmi, lalu si suami ingin menikah lagi, itu tidak bisa dianggap sebagai tindakan yang merendahkan martabat pernikahan? Banyak kalangan menganggap bahwa tindakan ini tidak mendegradasi lembaga perkawinan. Bahkan kalangan patriarkhis beranggapan jika perkawinan oleh suami itu dianggap sebagai hal yang dibolehkan bahkan disunnahkan.

Padahal, jika masalah ini ditilik dari kacamata si istri, justru perkawinan kedua suaminya ini jelas-jelas membawa dampak pada ikatan perkawinan mereka. Akibat masalah ini, mereka bisa bercerai artinya mereka meninggalkan lembaga perkawinan.

Di beberapa negara, seperti Tunisia misalnya, pernikahan kedua, ketiga dan keempat atau dikenal dengan istilah poligami, itu dilarang. Alasannya ya untuk menghormati ajaran Islam yang cenderung pada ajaran monogami.

Jika alasannya karena ingin menjaga lembaga perkawinan, check in di hotel dan kohabitasi bisa dipidanakan, maka pernikahan kedua, ketiga atau poligami juga bisa dimasukkan ke dalam kategori ini karena poligami, menurut sebagian kalangan terutama kalangan korban juga bisa dianggap sebagai hal yang merusak lembaga perkawinan.

Masalah ini memang rumit dan konteks Indonesia sebagai negara yang menghormati nilai-nilai agama menjadikan aturan atau undang-undang juga harus mempertimbangkan masalah moral keagamaan.

Dalam konteks Islam, sebagian besar pandangan ulama setuju jika poligami itu bukan tindakan yang dilarang. Bagi mereka yang mampu (istita’ah), menurut mayoritas pandangan ulama, justru malah diizinkan untuk memiliki istri lebih dari satu. Bahkan, ada yang menafsirkan poligami sebagai hal yang dianjurkan. Ini pandangan mainstream di negeri kita, Indonesia, dan dunia pada umumnya.

Hal lain yang perlu kita pikirkan adalah dampak KHUP khususnya yang berkaitan dengan masalah ini di dalam masyarakat. Kita tahu bahwa karakteristik masyarakat kita yang komunal biasanya memiliki keinginan untuk memperhatikan atau terlibat lebih dalam, dalam kehidupan masyarakat. Jika mereka melihat di dalam masyarakat ada semacam gejala penyimpangan, meskipun itu bukan urusan mereka, yang mengundang intervensi mereka, maka mereka akan melakukan intervensi, meskipun pihak aparat hukumlah yang sebenarnya berhak melakukan itu.

Selama ini kita tahu bahwa ormas-ormas keagamaan sangat ingin melakukan penegakan “amar ma’ruf nahi munkar.” Front Pembela Islam (FPI) misalnya, dulu sering melakukan sweeping tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat. Sasaran mereka adalah komplek prostitusi, kemudian diskotik, dan juga hotel-hotel yang diduga menjadi tempat “esek-esek.”

Keadaan ini pernah terjadi lama ketika ormas-ormas keagamaan itu mendapat angin dalam kehidupan politik kita di Indonesia. Kini, keadaan politik negara kita memang sudah relatif stabil dari intervensi ormas-ormas yang sering melakukan sweeping.

Atas dasar ini semua, ketika di dalam KHUP terdapat pasal yang bisa memenjarakan pasangan belum nikah yang check in di hotel atau penginapan dan perilaku hidup bersama sebelum menikah, maka saya rasa ini akan menimbulkan kompleksitas sebagaimana yang saya uraikan di atas.

Saya khawatirkan akan terjadi apa yang sering diistilahkan dengan “main hakim sendiri.” Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan bahwa UU ini atau rancangan ini merupakan delik-aduan, namun karena masalah ini sudah dianggap oleh umum sebagai pelanggaran, maka itu bisa menjadikan masyarakat akan bertindak “main hakim sendiri.”

Maksud dari “main hakim sendiri” adalah keinginan masyarakat atau ormas keagamaan untuk menindak apa yang mereka anggap sebagai penyimpangan secara langsung. Mereka ini seperti FPI zaman dulu, bertindak sebagai hakim di dalam masyarakat.

Tapi ini juga bisa membuka peluang bagi “polisi moral”, baik itu yang terdiri dari aparat resmi seperti polisi syariah atau polisi pemda atau kelompok-kelompok keormasan, baik nasional maupun daerah.

Tidak semua tahu bahwa perkara pemidanaan bagi dua jenis kelompok masyarakat tadi –check in di hotel padahal belum nikah atau hidup bersama tanpa nikah—adalah delik aduan karena ini menyangkut teknis tertentu. Tapi begitu RKHUP diresmikan menjadi KHUP dan di dalamnya ada pasal pengaturan seperti yang saya gambarkan di atas, maka semua pihak tahu akan itu.

Sebagai catatan, rancangan pemidanaan pada pasangan yang check in hotel yang belum menikah dan perilaku hidup bersama tanpa nikah, butuh jalan keluar yang adil; yakni, hak-hal personal atau privat tetap terjaga pada satu sisi, namun pada sisi lain pelanggaran hukum tidak terjadi. Jika pembuat hukum benar-benar ingin mempertahankan pasal-pasal ini, maka mereka harus menjamin bahwa ini perkara hanya berlaku sebagai delik-aduan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.