Penyegelan atas rumah ibadah kelompok minoritas terjadi kembali di negeri kita. Kali ini terjadi pada sebuah rumah –yang difungsikan—sebagai rumah ibadah di wilayah Solo. Sekelompok warga melakukan gerakan dengan cara memberikan segel pada rumah yang konon digunakan sebagai rumah ibadah.
Sebenarnya peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tindakan pengawasan kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas masih sering terjadi di mana-mana. Namun Solo adalah termasuk wilayah yang kita sering mendengar sebagai tempat yang cukup rentan atas tindakan-tindakan pengawan kelompok mayoritas ke kelompok minoritas. Kelompok Syiah adalah kelompok minoritas yang acapkali mendapat tekanan dari kelompok mayoritas Islam Sunni di Solo. Bahkan Solo dianggap sebagai wilayah pertempuran antara kelompok Syiah Indonesia dan Wahabi Indonesia.
Kini menurut pemberitaan media ada dua rumah ibadah yang disegel di Solo karena izin mereka yang belum lengkap. Persoalan izin sebenarnya sudah lama menjadi alasan untuk kelompok mayoritas mengawasi perkembangan keagamaan kelompok minoritas karena ini merupakan celah yang paling bisa dilakukan untuk menekan.
Banyak kasus rumah ibadah, terutama gereja, yang ditekan dan akhirnya disegel karena alasan mereka tidak memiliki izin. Aparatus setempat biasanya akan sulit untuk menangani masalah ini karena alasan ketidakadaan izin tersebut. Kelompok masyarakat penekan mengerti jika soal izin menjadi pintu masuk yang paling ideal.
Mengapa para pengambil kebijakan di daerah tidak mengambil pelajaran dari banyaknya kasus yang terjadi dari persoalan izin pendirian rumah ibadah? Mengapa para pengambil kebijakan tidak mau melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh kelompok minoritas dalam memenuhi perizinan untuk pendirian rumah ibadah mereka? Apakah misalnya dalam keadaan di mana mereka tidak bisa memenuhi syarat jumlah pengguna dan juga jumlah KTP persetujuan dari masyarakat sekitar, apakah lalu mereka sama sekali tidak boleh melakukan ibadah di rumah mereka?
Mestinya kelompok kecil tersebut bisa diberikan izin untuk beribadah di rumah mereka. Dalam konteks Indonesia yang seharusnya memperhatikan kultur saling memahami dan membantu, jika sebuah kelompok kecil belum bisa memenuhi perizinan untuk memiliki rumah ibadah sendiri, bukan berarti mereka tidak boleh melakukan ibadah di rumah mereka. Mengapa demikian?
Ibadah adalah bagian yang tidak bisa ditawar dari seseorang yang memiliki keyakinan dan agama. Negara, kelompok mayoritas dan kekuatan lain sama sekali tidak boleh melarang ibadah bagi mereka yang memiliki keyakinan dan agama karena itu bisa dianggap sebagai pelanggaran. Dalam doktrin Islam dikenal tidak boleh ada paksaan orang berigama (la ikraha fi al-din).
Meskipun saya setuju sekali dengan tindak cepat dari Gibran sebagai penguasa wilayah, namun persoalan krusial dari rumah ibadah kelompok mayoritas ini butuh penyelesaian yang permanen. Tidak semua penguasa wilayah memiliki perhatian yang serius pada kesulitan kelompok minoritas dalam memiliki rumah ibadah mereka. Tidak semua bupati walikota seperti Gibran dalam menanggapi masalah seperti ini.
Saya berharap jika kasua-kasus seperti ini selesai bukan karena intervensi bupati, walikota, gubernur, Menteri agama dlsb, namun karena selesai berdasarkan pada mekanisme dan aturan yang adil yang disepakati bersama. Jika aturan yang sekarang ada kurang bisa mengadopsi kepentingan kelompok minoritas maka para pengambil kebijakan sebaiknya memikirkan kembali untuk melihat aturan itu kembali, bukan untuk memenuhi tekanan mayoritas namun untuk mencari jalan bagi kelompok minoritas.
Persoalan yang terjadi selama ini memang cara berpikir mayoritarianisme. Cara pikir ini tidak selalu dikemukakan oleh kelompok yang sudah menjadi mayoritas, namun bisa juga terjadi pada kelompok minoritas. Artinya, meskipun sebuah kelompok itu minoritas agama dan keyakinan, namun cara pikir mereka seperti mayoritas agama dan keyakinan itu bisa terjadi. Sebaliknya, ada kelompok mayoritas yang cara berpikir bisa memahami kelompok minoritas.
Tentang cara pikir mayoritarianisme oleh kalangan mayoritas misalnya apa yang oleh MUI sekarang ini inginkan soal pengaturan rumah ibadah. Menteri Agama kita, Yaqut Cholil Qaumas, mengemukakan pandangannya agar pendirian rumah ibadah itu disederhanakan izin pembangunannya. Misalnya dia menyatakan jika izin itu satu pintu saja yakni Kemenag, tidak perlu mendapatkan izin dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).
Menteri Agama berpikir demikian karena dia melihat banyak masalah dan kesulitan yang memang dihadapi oleh kelompok minoritas dalam membangun rumah ibadah mereka dan mereka ini harus mendapatkan jaminan penyelesaian yang adil sebagai warga negara Indonesia.
Namun usulan Menteri Agama ini mendapat tentangan dari MUI. MUI menyatakan jika aturan yang selama ini terjadi sudah efektif, tidak perlu mengganti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Cara pandang MUI, dalam hal ini diyatakan oleh Utang Ranuwijaya, adalah bahwa yang bermasalah bukan pada peraturannya namun pengusulnya. Menurutnya para pengusul ini menyalahi prosedur pengajuan izin.
Cara pandang Utang ini diperkuat lagi oleh cara pandang Anwar Abbas. Dia menyatakan jika usulan penyederhanaan pendirian rumah ibadah itu justru mengundang kegaduhan di kalangan masyarakat. Mungkin maksudnya adalah kelompok mayoritas pasti tidak akan menerima.
Bahkan Anwar Abbas menyatan jika akibat penyederhanaan izin ini mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan di dalam masyarakat maka yang disalahkan siapa, masyarakat ataukah menterinya.
Cara pandang Utang dan Anwar Abbas ini sangat khas sebagai cara pandang mayoritarianisme di mana segala aspek yang terjadi dari sebuah kebijakan itu yang digunakan adalah ukuran kelompok mayoritas. Mereka tidak berpikir bahwa ada beberapa hal penting yang tidak bisa dilihat dari cara pandang ini yakni soal hak konstitusi yang lebih tinggi dari semua orang yakni menjalankan keyakinan dan agama mereka yang dijamin konstitusi bukan hanya peraturan bersama.
Saya berpikir bahwa usulan Menteri Agama ini bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi persoalan kesulitan kelompok minoritas untuk mendapatkan izin bagi pendirian rumah ibadah mereka. Namun sekali lagi, aturan atau konon dalam bentuk Perpres ini, yang menyederhanakan ini juga benar-benar menjadi sederhana dalam praktinya. Jangan hanya namanya saja yang sederhana namun kenyataannya sulit.
Sebagai catatan, penyederhanaan izin pendirian rumah ibadah ini bukan hanya menguntungkan bagi kelompok minoritas namun juga bagi kelompok mayoritas. Asalkan, penyederhanaan ini benar-benar bisa dilaksanakan sederhana dalam praktinya.