Sabtu, April 27, 2024

Bagaimana Sesungguhnya Azan dalam Literatur Islam?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kasus penuntutan pernyataan Menteri Agama Yaqut soal azan terus berlanjut. Setelah beberapa waktu lalu Roy Suryo dan kawan-kawannya tertolak di Kapolda Metro Jaya, kini Novel Bamukmin melaporkan ke Mabes Polri. Tak tanggung-tanggung, Bamukmin menyatakan semacam “ancaman” di publik: “tidak ada tebusan bagi penista agama kecuali mati.”

Kesan saya reaksi mereka yang protes atas pengaturan azan itu lebih banyak didorong oleh motif politik daripada motif yang lebih substansial. Dicobalah dikait-kaitkan dengan masalah lain agar kebijakan dan pernyataan menteri bisa masuk menjadi bagian dari penistaan pada Islam.

Dalam catatan kali ini, saya ingin melihat bagaimana sesungguhnya azan itu dibicarakan di dalam literatur Islam. Lebih lagi saya akan melihat bagaimana sih soal yang berkaitan dengan azan ini didiskusikan dan bahkan diperdebatkan di dalam literatur fikih. Setelah itu saya mengaitkannya dengan respon beberapa kalangan yang terasa kurang substantif.

Pertama, secara historis azan ini muncul pada awal perpindahan Nabi di Kota Madinah dari Kota Mekkah. Azan disyariahkan mulai tahun pertama hijrah. Pensyariatan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan umat Islam untuk mengetahui waktu masuk shalat mereka. Azan ini sekaligus untuk membedakan cara umat lain dalam memandai waktu ibadah mereka.

Kedua, sebagai bagian dari hukum Islam, azan itu dihukumi oleh sebagian besar mazhab Islam sebagai hal yang sunnah, bukan wajib. Sunnahnya adalah sunnah mu’akkad. Mazhab Hanbali menyatakan fardu kifayah (kewajiban kolektif).

Dari dua hal di atas, kita tahu bahwa azan boleh saja dilakukan dan boleh saja tidak bagi mereka yang akan melaksanakan shalat. Jika dilaksanakan itu mendapatkan pahala. Sebagai kewajiban kolektif, menurut mazhab Hanbali, jika azan sudah dilaksanakan oleh satu masjid di sebuah kampung atau kawasan maka itu sudah gugur kewajiban.

Apa yang dilakukan oleh Kemenag soal pengaturan volume azan sama sekali tidak ada pertentangan pensyariahan azan. Tidak ada pengingkaran bahwa azan itu memang bagian dari ajaran Islam. Azan tetap bisa dilaksanakan seperti biasa, dengan aturan keras dan lemahnya speaker atau TOA-nya. Dan kebijakan seperti ini, orang sudah banyak tahu, dilaksanakan di negara-negara Muslim lain.

Hampir dikatakan semua negara Muslim memiliki aturan suara alat pengeras suara. Namun negara-negara yang memiliki aturan soal suara ini –biasa disebut dengan istilah noise pollution—rata-rata menghadapi gerakan.

Persis seperti yang terjadi di Indonesia, pengaturan suara dalam aturan soal noise pollution itu disalahpahami sebagai upaya untuk melarang orang berazan seperti yang terjadi di India, Kosovo, dan negara-negara yang Muslim menjadi minoritas. Namun, kebijakan yang demikian ini akhirnya bisa diyakinkan bahwa tujuan utama mengatur suara azan, bukan melarang azan.

Di Turki misalnya pengaturan azan sudah lama diaspirasikan. Warga kota besar di Turki banyak yang komplain soal suara azan yang tidak enak didengar dan terlalu keras. Sekali lagi, mereka tidak menolak adanya azan untuk lima waktu, karena mereka tahu itu bagian dari syariah Islam. Saya ingin mengatakan pengaturan volume azan tidak identik dengan larangan azan.

Jika kita kembali ke sejarah, sebelum teknologi pengeras suara ditemukan, azan dilakukan di atas menara masjid. Pengeras suara ditemukan di awal abad 20 dan mulai digunakan di masjid untuk azan pada tahun 1930an. Dilaporkan jika pada tahun 1936, Masjid Sultan di Singapore mulai memakai alat pengeras suara.

Penemuan teknologi pengeras suara itu tak ayal menjadi euphoria di negara-negara Muslim pada masa awal penemuan alat ini. Pada satu sisi pengeras suara azan ini menjadi sarana, namun juga menjadi semacam noise pollution. Banyak warga Muslim sendiri di negara-negara Muslim tersebut yang merasa harus ada aturan suara alat pengeras suara. Saudi Arabia, pada tahun 2021, Kementerian Urusan Islam, mengeluarkan aturan jika suara azan tidak boleh melebihi 1/3 volume.

Pengalaman negara lain dalam mengatur suara pengeras suara di masjid-masjid dan rumah ibadah hendaknya menjadi semacam pembanding bagi kita agar kita tahu bukan hanya Indonesia yang memiliki aturan demikian.

Tapi memang kebijakan yang terkait dengan agama, apalagi itu agama kelompok mayoritas, itu sering mendapatkan twist. Sebenarnya bukan oleh masyarakat kebanyakan, namun oleh pihak yang merasa kebijakan seperti itu bisa dibelokkan. Jika sebuah kebijakan bisa dimaterialisasi untuk kepentingan politik oposisi, maka itu langsung ditangkap untuk menjadi kepentingan politik. Karena sudah diolah menjadi komoditas yang berbau politis, substansi masalah menjadi sering kabur dari yang semestinya.

Di sini, pengaturan suara azan dijadikan sebagai persoalan identitas, bukan sebagai kebijakan. Dan ini makanan empuk bagi para politisi dan aktivis gerakan Islam yang memandang bahwa politik identitas itu menjadi ladang empuk untuk menggalang suara. Kita belajar masalah ini dari Pemilu DKI 2017.

Memang ada semacam usulan untuk menyerahkan agar suara azan diserahkan saja kepada mekanisme masyarakat. Serahkan masalah ini kepada ulama atau organisasi Islam. Saya setuju akan hal ini jika ulama atau organisasi masyarakat memang sudah memiliki kesadaran masalah itu.

Pengalaman negara-negara yang menyerahkan aturan suara pengeras suara azan kepada masyarakat atau mereka yang tidak memiliki aturan soal ini memang tidak mudah. Pengaturan oleh masyarakat sendiri justru mengundang ketegangan sosial. Terlebih apabila di dalam masyarakat memiliki aliran yang berbeda-beda. Belum lagi apabila kondisi masyarakat itu benar-benar plural, pelbagai suku hidup dalam satu area lingkungan yang sama. Hal ini benar-benar membutuhkan “mayoritas yang arif dan bijak.”

Masih ingatkan peristiwa seorang ibu yang mengkomplain suara azan, kebetulan ibu ini adalah minoritas. Apa yang terjadi? Si ibu tidak mendapatkan penyelesaian namun malah dituntut penjara karena komplain dia dianggap ekspresi kebencian atas ajaran Islam.

Siapa yang menjamin bahwa hal yang dialami oleh si ibu di atas tidak akan terjadi lagi dengan orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan suara yang berlebihan dari azan. Anehnya, mayoritas kita dengan mudah menuduhkan hal yang berbeda dan menerima seolah-olah suara azan itu sama dengan Islam itu sendiri. Di sini negara perlu hadir dan berperan.

Sebagai catatan, kehadiran negara dalam hal pengaturan suara azan itu jawaban pada masalah-masalah yang selama ini terjadi. Kita belum memiliki masyarakat mayoritas yang arif dan bijak, karenanya negara perlu hadir untuk itu.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.