Pada mulanya, di zaman Rosulallah Muhammad SAW sebelum adanya syari’at islam berupa “adzan”. Kaum muslimin diseru atau dipanggil oleh Rosul dengan seruan “Ash-Shalatu jami’ah (mari shalat berjemaah)!” Hanya itu, tidak ada yang lain. Lalu kaum muslimin pada waktu itu mengikuti seruan Rosulallah untuk berkumpul serta melakukan solat berjamaah.
Terkait dengan syariat adzan sendiri, pertamakali diberlakukan ketika arah kiblat dipindah yang semula menghadap ke baitul Maqdis (Palestina) menjadi menghadap ke Ka’bah yang berada di kota Mekkah.
Pada waktu itu, beberapa pemeluk agama non muslim memeiliki penyeru sebagai panggilan untuk melakukan sembahyang, akan tetapi kaum muslimin sendiri masih belum memiliki identitas penyeru sembahyang.
Atas timbulnya dinamika pemikiran tersebut, maka muncul kebutuhan untuk mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba.
Banyak usulan dari para sahabat tentang penyeru sembahyang, ada yang mengusulkan ke Rosulallah yaitu dengan membunyikan lonceng seperti kaum nasrani, ada juga yang meniupkan terompet atau tanduk kambing seperti kaum yahudi, ada juga sahabat lain yang mengusulkan untuk menyalakan api ditempat yang tinggi seperti orang majusi. Ketiga saran tersebut lalu ditolak oleh Rosulallah SAW secara halus.
Hingga pada akhirnya Abdullah bin Zaid Al-Khazraji datang pada Rasulullah SAW dan berkata, “Tadi malam aku bermimpi. Ada seorang pria berpakaian hijau membawa lonceng di tangannya. Aku pun bertanya, ‘Apakah engkau menjual lonceng itu?’ Dia balik bertanya, ‘Untuk apa?’ Aku menjawab, ‘Untuk memanggil orang-orang shalat berjamaah. ’ Dia berkata, ‘Maukah kuberi tahu media yang lebih baik daripada lonceng?’ Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Dia mengatakan, ‘Serukanlah Allahu Akbar, Allahu Akbar—hingga akhir azan.”
Akhirnya Rosulallah SAW menyuruh kepada Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan bunyi adzan tersebut kepada Bilal dikarenakan suara bilal lebih keras dan lantang. Maka sejak saat itulah Bilal selalu melaksanakan Seruan Adzan untuk memanggil kaum muslimin untuk solat. Sejak saat itu terkonseplah sebuah lafadz adzan untuk menyeru kaum muslimin menunaikan solat.
Seiring perkembangan teknologi, terutama teknologi bidang fisika elektro, maka ditemukanlah sebuah konsep dan sistem yang membuat suara menjadi lebih keras dan nyaring, teknologi tersebut bernama speaker.
Speaker adalah sebuah teknologi yang mengubah suara dengan cara menggetarkan komponennya yang berbentuk membran untuk menggetarkan udara, sehingga terjadilah gelombang suara yang lebih besar. Hingga pada akhirnya diciptakanlah teknologi mutakhir pengeras suara dengan Branding TOA oleh seorang Jepang, hingga saat ini TOA menjadi branding terkenal di seantero dunia dalam hal urusan pengeras suara.
Kaum muslimin di Indonesia, pada umumnya menggunakan teknologi pengeras suara sebagai media menyeru solat, sejak ditemukannya teknologi ini, para muadzin di masjid-masjid dan musholla selalu menggunakannya dalam mengumandangkan adzan. Tujuannya tentu supaya kaum muslimin segera bergegas datang ke masjid atau musholla untuk menunaikan ibadah solat secara berjamaah, agar mendapatkan pahala yang berlipat ganda, selain itu solat berjamaah juga dapat menyemai silaturahim, mempererat ukhwah Islamiyah dan melebur kesenjangan sosial.
Kondisi Kehangatan hubunga toleransi antar umat beragama di Indonesia saat ini mulai memanas, yang terjadi baru-baru ini sepertu Kisruh soal pengeras suara adzan di Indonesia, kasus ini bermula ketika seorang Ibu bernama Meliana di Tanjungbalai Sumatera Utara divonis 1 Tahun 6 Bulan penjara, karena dituduh melakukan penistaan agama.
Penistaan tersebut berawal dari kata-kata si ibu dengan mengatakan “Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid, sakit kupingku, ribut.” Kalimat tersebut disampaikan kepada tetangga rumahnya pada hari Jum’at 22 Juli 2016. Meliana merasa terganggu dengan kerasnya suara adzan di sekitar rumahnya.
Kata-kata Meliana tersebut langsung disampaikanoleh tetangganya kepada pengurus masjid, pada malam harinya para pengurus Masjid pun mendatangi Kediaman Meliana dan beradu argumen. Hingga pada akhirnya Meiliana ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Mei 2018 dengan dakwaan Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penodaan agama.
Atas kejadian tersebut, Kementerian Agama Republik Indonseia (Kemenag RI) memberlakukan aturan baru, terkait pengeras suara di masjid. Padahal Aturan pengeras suara tersebut sebenarnya sudah diatur oleh Kementerian Agama dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimas 101/1978.
Adanya aturan baru pengeras suara adzan tersebut, tentunya banyak menuai kontroversi, terutama dikalangan masyarakat islam salafi yang selama ini menjaga tradisi penggunaan speaker, menjadi aneh jika apa yang selama ini mereka lakukan, tanpa protes dan larangan dari masyarakat disekitarnya lalu kemudian dibatasi penggunaannya.
Hal ini menjadi lain urusannya bila terjadi di masyarakat urban perkotaan yang padat, dengan komposisi menusia dari berbagai suku, ras dan agama yang berbeda. Adzan bisa jadi sesuatu yang mengganjal bagi mereka yang bukan non muslim.
Tetapi inilah Indonesia, sebuah negara dengan komunitas terbanyak kaum muslim, mereka mau tidak mau harus menerima kenyataan tersebut, harus bersabar dan berusaha toleran dengan suara adzan, bukankah seharusnya mereka di untungkan dengan kumandang suara adzan, karena secara tidak langsung, kerasnya suara adzan membantu membangunkan bagi non muslim untuk bangun pagi dan memulai aktifitasnya, bagi non muslim yang tidak beraktifitas di pagi hari pun, setidaknya bisa bertoleransi dengan menutup telinganya sekitar 3 menit. Lalu setelah itu kembali melanjutkan tidurnya.
Bukankan seperti itu seharusnya sikap toleransi yang mesti dilakukan sebagai upaya menjaga kehidupan toleransi antara umat beragama, dan bukankah dizaman Rosulallah pun biasa saja, padahal pada waktu itu di Madinah banyak sekali kaum non muslim yang tinggal disana.
Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kemenag RI, seharusnya lebih tenang dan tidak terburu-buru dalam menyikapi persoalan pengeras suara ini. Karena hal ini bisa memicu masalah baru dikalangan masyarakat.
Seperti yang terjadi di media sosial, banyak masyarakat yang tidak terima dengan aturan baru tersebut. Alih-alih mengikuti aturan pemerintah malah yang terjadi adalah menambah speaker/pengeras suara yang semula 3 menjadi 5 unit pengeras suara, mereka memfotonya lalu mepostingnya di media sosial, supaya bisa diakses dan diketahui oleh masyarakat di daerah lain sebagai bentuk penolakan atas aturan baru tersebut.
Selain itu, banyak pula yang mencela dan mencaci pemerintah, sehingga imbasnya adalah nama baik dan kredibilitas presiden pun menjadi buruk ditengah suhu politik Indonesia yang semakin hari semakin memanas. Ini menjadi tidak baik akhirnya, karena isue ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuat serangan-serangan politik, baik di media sosial maupun di kalangan masyarakat.