Jumat, April 19, 2024

AstraZeneca Itu Halal

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kita tersentak kembali soal fatwa halal vaksin yang baru-baru ini dihembuskan oleh media kita. Yakni, pernyataan MUI bahwa vaksin Astrazaneca, buatan Inggris, dianggap mengandung unsur babi karena menggunakan tripsin (enzim babi) dalam proses pembuatannya. Sebagaimana pernah saya katakan bahwa fatwa seperti ini pasti akan muncul kembali karena fatwa halal yang sudah ada hanya Sinovac. Nanti, akan muncul fatwa lagi setelah fatwa MUI soal Sinovac dan AstraZeneca. Dalam catatan ini, saya akan menyoroti masalah ini agar kita tidak kaget dan santai saja dalam menanggapi fatwa-fatwa seperti ini.

Soal anggapan MUI bahwa AstraZeneca mengandung babi, pihak AstraZeneca sudah membantah masalah ini. Menurut penjelasannya, pihak AstraZeneca sama sekali tidak menggunakan produk dari babi atau turunannya. Mereka menyebut vaksin mereka sebagai vaksin vektor virus, vaksin yang tidak mempergunakan produk berasal dari hewan. Hal yang paling penting, menurut mereka, vaksin buatannya telah diakui oleh 70 negara termasuk negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko dcan banyak lagi. Keribuatan seperti ini pasti akan terjadi, sebagaimana saya sudah prediksikan dalam catatan-catatan sebelumnya.

Masalah ini sebenarnya soal perbedaan rujukan madzhab yang dipakai oleh MUI dan mungkin AstraZeneca dalam menentukan halal dan haram sebuah produk atau barang. Dalam menentukan halal dan haram, MUI menganut madzhab imam Syafii di mana kunci dari madzhab ini adalah memanfaatkan barang haram untuk sebuah produk akan menghasilkan barang haram pula di akhirnya. Cara pandang ini adalah yang dianut oleh MUI dan tertera dalam landasan fatwa mereka.

Jadi, MUI tidak hanya mempersoalkan hasil akhir namun juga proses awalnya memakai bahan apa sebuah vaksin itu dibuat. Sementara AstraZeneca mungkin menggunakan unsur babi sebagai media pengembang pembuatan vaksin yang MUI sebut sebagai Trepsin Babi atau menggunakan lainnya yang tidak halal pada.

Meskipun media pengembang atau bahan atau hal lain itu terkait dengan babi atau barang haram lainnya, namun jika AstraZeneca mengklaim, lewat proses pembuatannya, bahwa vaksin buatannya sudah tidak ada kandungan halal di hasil akhirnya, maka vaksin tersebut halal. Pijakannya adalah madzhab Hanafi.

Dalam hal ini, madzhab konsumsi bahan yang menggunakan bahan haram lalu dalam proses pembuatannya barang tersebut menjadi halal yang akhirnya itu dibolehkan. Proses inilah yang di dalam hukum Islam disebut dengan istilah istihalah. Banyak negara Muslim di dunia, bahkan mayoritas, menggunakan standar halal dan haram dengan merujuk pada madzhab Hanafi ini. Bahkan, ulama terkemuka modern, seperti Yusuf Qaradawi dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram berijtihad jika selain dagingnya, babi bisa dimanfaatkan untuk keperluan obat-obatan.

Karenanya, jika negara dan kita membolehkan kita semua menganut madzhab selain Syafii, maka dibolehkan vaksin Astra-Zeneca tidak usah melalui argumen darurat, namun cukup dikatakan halal bagi mereka yang menganut madzhab Syafii. Hal ini sebenarnya yang dulu, tahun 2000an, Gus Dur mempertahankan pendapat hukumnya tentang kehalalan Ajinomoto. Orang awam, yang tidak paham hukum Islam (fiqih) mengira jika pendapat Gus Dur itu asal-asalan. Padahal, jelas Gus Dur mendasarkan pendapatnya pada madzhab Hanafi. Lalu yang salah siapa?

Baik MUI maupun pihak yang menghalalkan AstraZeneca dari perspektif ilmu fiqih sebenarnya tidak ada yang salah. Kedua golongan ini berpijak pada dua madzhab yang memang berbeda. Artinya, MUI berhak mengatakan AstraZeneca haram, berdasarkan hasil ijtihadnya, namun pihak yang menghalalkan AstraZeneca juga bisa mengklaim bahwa vaksin ini halal adanya, karena memang madzhab Hanafi menghalalkannya. Sekali lagi, masalah ini adalah masalah perbedaan madzhab. Dan, perbedaan madzhab adalah rahmat bagi kita semua.

Sikap saya, jika soal ini dianggap sebagai soal perbedaan madzhab saja, seperti antara Gus Dur dan MUI pada zaman Kyai Sahal dulu, soal Ajinomoto, maka itu tidak menjadi masalah. Negeri kita memiliki masalah halal dan haram ini karena kita sudah terlanjur menjadikan fatwa MUI yang berlandas pada konsep Imam Syafii sebagai landasan halal dan haram di negeri kita.

Di sinilah, seperti yang saya sering ulang, problematika kita menjadi hukum syariah sebagai hukum negara. Saya berpandangan bahwa negara dan juga pemerintah seharusnya menjaga netralitasnya soal keyakinan dan pandangan keagamaan. Negara harus menghargai segala pilihan madzhab seseorang dan tidak meresmikan madzhab tertentu sebagai madzhab negara.

Madzhab negara kita soal halal dan haram adalah madzhab Syafii sebagaimana tertuang di dalam UU No.33/2014. Hal ini artinya, negara ikut memihak pada satu madzhab saja. Bagaimana jika ada rakyat yang ingin mengikuti madzhab Hanafi yang menyetujui adanya proses perubahan haram ke halal dengan menggunakan argumentasi istihalah? Saya menjawab, tidak masalah karena bermadzhab adalah bagian dari keyakinan yang harus dihormati.

Istihalah, sebagai argumen hukum Islam, itu saat sekarang lebih populer dipakai di negeri-negeri Muslim. Argumen ini dipandang lebih fleksibel dan sesuai dengan corak perkembangan zaman, ilmu dan juga teknologi serta kepentingan bisnis. Dunia obat-obatan dan terutama vaksin lebih dimudahkan untuk menggunakan argumen istihalah dalam menemukan dan mengembangkan produk mereka.

Kalau Indonesia ingin menjadi salah satu pemain besar dalam industri halal, maka Indonesia perlu mempertimbangkan perluasan argumen penentuan halal haram yang tidak hanya didasarkan pada pendapat madzhab Syafii; namun juga perlu mempertimbangkan madzhab Hanafi, atau bahkan madzhab lainnya. Bukankah yang demikian ini lebih memperluas pengetahuan keagamaan kita.

Sebagai catatan, dalam keadaan sulit seperti sekarang ini, seharusnya kita seluas-luasnya memberikan kesempatan untuk hidup beragama secara luas dan fleksibel. Hal paling penting bagi kita, orang awam adalah argumen yang kita pakai memang ada rujukannya. Jika kita mempersempit kesempatan mencari jalan keluar dari pandemi ini, kita sama halnya mempersulit jalan kemudahan yang memang sudah disiapkan oleh agama. Jalan kemudahan itu ya kita diberi keleluasaan untuk menentukan cara bermadzhab termasuk mengikuti prinsip istihalah yang banyak diikuti di kalangan madzhab Hanafi.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.