Sabtu, April 20, 2024

Apakah Khilafah Solusi Covid-19?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Dalam era wabah pandemi Covid-19 seperti ini, promosi lamat-lamat tentang sistem khilafah di negeri kita kembali muncul. Seperti biasa, mereka mengklaim jika sistem khilafah adalah sistem politik yang bisa mengatasi segala macam masalah di dunia, apalagi kalau cuma soal Covid-19.

Menurut mereka, sistem khilafah bisa mengatur tata-kelola kesehatan modern yang sudah business-oriented, rumah sakit yang tidak siap, dan hal-hal lain, menjadi siap. Kata penganur sistem khilafah, khilafah itu solusi untuk apa saja atau dalam bahasa lain mereka ini menyebutnya dengan istilah Islam kaffah.

Keadaan pandemik seperti yang kita alami ini membuat promosi sistem politik apa pun akan marak termasuk sistem politik berbasis khilafah. Sistem politik yang telah dibekukan di hampir seluruh negara Islam di dunia dan termasuk yang agak terakhir di Indonesia –sejak 2017–seperti tidak lelahnya untuk menawarkan ideologi mereka dalam banyak cara. Bisa dikatakan bahwa dalam setiap ada peristiwa nasional yang genting dan krisis, maka hadirlah promosi sistem ini.

Sudah barang tentu sebagai sebuah diskursus kita tidak bisa mencegahnya. Kita pun sendiri, bahkan, juga tidak akan mampu memberikan penyadaran apa pun pada mereka yang sudah memiliki keyakinan begitu dalamnya atas sistem khilafah tersebut. Jika demikian halnya, biarlah mereka seperti itu. Kita hanya perlu membentengi orang-orang awam yang tidak mendalami masalah sejarah dan politik Islam.

Pertama, wabah di dunia ini tidak hanya terjadi pada saat ini saja. Sejak zaman peradaban Islam dunia ini mulai sampai zaman kekuasaan Islam modern, wabah selalu ada. Pada masa dinasti Ummayah dan Abbasiyah pernah terjadi wabah besar. Pada masa kejayaan Kerajaan atau kekhalifahan Usmani juga pernah terjadi wabah. Wabah yang terkenal dengan istilah black death ternyata juga mempengaruhi kekuasaan baru Dinasti Usmani pada saat itu. Dari semua sistem politik yang beragam di atas tidak ada yang benar-benar kebal dari wabah karena sistem politiknya yang mereka anut.

Kedua, sistem politik apapun, jika mereka tidak mampu memproduksi obat atau vaksin atau disiplin sosial yang bisa menghalau wabah dan sistem kesehatan yang baik, maka tetap saja sistem politik tersebut dianggap tidak mampu memberikan solusi atas wabah.

Pendek kata, Covid-19 ini bukanlah masalah agama atau sistem politik tertentu. Baik memakai haluan syariah atau tidak, baik berdasar Islam atau tidak, Covid-19 pada kenyataannya adalah virus yang mematikan. Covid-19 tidak memilih agama dan sistem politik korbannya. Baik pengikut khilafah atau bukan bisa terkena jika dia tidak mentaati protokol kesehatan yang dianjurkan.

Jika ada yang menyatakan mau Covid-19, khilafahlah solusinya, maka hal ini tidak benar. Covid-19 adalah persoalan nyata, empiris, dan terkait dengan ilmu pengetahuan. Jika masalahnya empiris dan medis maka jawabanya bukan sistem politik khilafah namun sistem kesehatan dan medis yang canggih yang bisa tumbuh dalam sistem politik apapun.

Kita sudah diberi contoh oleh ulama-ulama dahulu bahwa semenjak abad 3 Hijriyah sampai zaman sekarang, para saraja Islam dalam sistem politik yang beda-beda berusaha untuk menemukan apa yang bisa mengobati wabah. Sistem politik bisa mendukung, namun yang terpenting adalah dukungan ilmu pengetahuan dan penelitiannya.

Ketiga, khilafah adalah sistem politik biasa, yang bisa mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Khilafah bukan sistem yang sempurna. Dalam sebuah kitab berbahasa Arab yang berjudul al-Khilafah al-Islamiyyah, karangan Muhammad Said al-Asymawy, dikatakan, “al-khilafah al-Islamiyyah –idzan—laisat ruknan min al-iman wa la hukman min al-syari’ah lakinnaha juz’un min tarikh al-Islam,” jadi khilafah Islamiyah itu bukan bagian dari rukun iman dan bukan pula bagian hukum Syari’ah namun khilafah adalah bagian dari sejarah Islam. Masih menurut al-Asymawy ini mencampur adukan antara Islam dan sejarah (khilafah) adalah kesalahan fatal (khat’un fadihun).

Keempat, dalam sejarahnya, sistem khilafah sebagai sistem politik lebih banyak memproduksi pertentangan daripada perdamaian, karena khilafah tidak bisa mempersatukan. Sejarah telah memberi tahu kita bahwa dalam kurun waktu yang bersamaan, ada tiga sistem khilafat; khalifah Abbasiyah di Baghdad, Khilafah Umayyah di Andalusia dan Khilafah Bani Fatimah di Mesir.

Kelima, hal paling penting adalah ternyata sistem khilafah itu tidak berjalan secara seragam, namun berbeda-beda dari waktu ke waktu. Sejarah membuktikan kepada kita bahwa khilafah itu tumbuh berkembang lalu gagal atau mati.

Sebagai catatan di sini, sekali lagi saya ingin tekankan bahwa Covid-19 itu bukan lagi soal mencari sistem politik, namun bagaimana mencari obat dan virus atau segala macam cara yang bisa menghentikannya untuk menyelamatkan kehidupan manusia.

Terkait:

Apakah Khilafah Solusi Covid-19?

Berbuat Baik Tak Pandang Agama

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.