Kamis, April 25, 2024

Apakah Kekerasan Orang Beragama Itu Kekerasan Agama?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Dalam sebuah perbincangan, seorang teman bertanya dan seraya mengeluh, mengapa akhir-akhir ini sering terjadi tindak kekerasan di pesantren? Teman ini menambahkan rasa gundahnya dengan mengatakan “mengapa kekerasan yang terjadi di pesantren itu justru sering terjadi di pesantren “modern.” Definisi pesantren “modern” disematkan pada pesantren yang menggunakan sistem pembelajaran modern, misalnya, memakai sistem kelas, kurikulum yang terukur (mata pelajaran), dan cara pandang pesantren tentang world view Islam.

Terus terang saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Namun dalam pikiran saya, kekerasan memang bisa terjadi di mana-mana. Tidak hanya di lingkup pesantren, namun lingkup pendidikan di luar pesantren. Bahkan bisa jadi di pesantren tradisional (salafiyah). Namun satu hal yang tidak bisa kita sangkal kekerasan yang terjadi di pesantren menjadi sorotan dan kegelisihan kita semua. Mengapa, karena keberadaan pesantren sebagai lembaga agama dan penjaga moralitas. Banyak kalangan berpikir bahwa seharusnya tidak ada kekerasan di dalam pesantren.

Saya sepenuhnya setuju dengan keinginan ini. Tidak ada yang mau bahwa pesantren dianggap sebagai tempat yang memungkinkan kekerasan itu terjadi. Namun, kita juga berpikir bahwa pesantren adalah tempat biasa sebagaimana tempat pendidikan lain.

Kalangan pesantren yang menyadari bahwa tempat mereka adalah tempat pendidikan sebagaimana lainnya, dan karenanya, bisa saja kekerasan terjadi, dan jika kekerasan terjadi itu mereka akui sebagai kesalahan mereka, maka saya sangat salut dan gembira akan mereka. Saya juga sangat senang jika sebagian tokoh dari kalangan santri ada yang mengakui bahwa kekerasan itu terjadi mungkin karena ada sistem yang salah yang memerlukan perbaikan.

Yang sering membuat kita gundah jikalau dunia pesantren bersikap denial; tidak mau menerima bahwa ada sistem yang salah di dalam pesantren. Sikap denial ini biasanya terjadi karena adanya anggapan jika sistem kelembagaan pesantren dipastikan tidak akan menyebabkan kekerasan terjadi.

Dalam catatan kali ini saya ingin mengulas bagaimana sebenarnya “trend” kekerasan berbasis agama itu terjadi secara global lalu menariknya ke dalam konteks lokal-Indonesia.

Saya juga ingin melihat apa sebenarnya kekerasan berbasis agama secara umum dan Islam secara khusus? Apakah sebuah kekerasan yang dilakukan oleh orang beragama tertentu itu langsung bisa disebut sebagai kekerasan agama mereka atau bagaimana? Katakanlah jika ada seorang Muslim atau santri yang melakukan kekerasan apakah itu langsung bisa dijustifikasi sebagai kekerasan Islam?

Sebenarnya, sejak 2007 sampai 2018, kekerasan, konflik dan sejenis yang terkait dengan agama itu mengalami penurunan. Menurut studi Pew Research, jumlah perang atau konflik terkait agama yang terjadi turun dari 21 negara ke 13 negara.

Namun pada tahun 2018, meskipun jumlah konflik atau perang yang terkait agama jumlahnya berkurang, namun korban manusia justru meningkat. Ini semua terkait dengan perang Syiria yang mengakibatkan jutaan orang terbunuh dan terusir dari tempat mereka, lalu perang di Afghanistan, Nigeria, Somalia, Yaman dengan ratusan ribu korban, serta di India, Irak, Libya, Filipina dan Sudan.

Perang antar agama juga turun pada periode yang sama. Perang antar agama menurut studi Pew Research terjadi di kawasan Sub Sahara Afrika, meskipun kita juga tidak menafikan terjadinya kekerasan di beberapa negara seperti Mesir, India, Yaman, Israel, Mali, Nigeria dlsb.

Menurut studi Pew Research, kekerasan terkait itu agama itu bisa terjadi di wilayah konflik maupun di wilayah non-konflik. Dalam studi Pew Research, Indonesia memang tidak masuk ke dalam negara yang terjadi di dalamnya kekerasan terkait agama, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Memang harus diakui, kekerasan terkait agama yang berskala besar hampir tidak terjadi, namun kekerasan yang terjadi di dalam sebuah kelompok atau komunitas lebih kecil masih sering terjadi sebagaimana terjadi di pesantren.

Namun, sebelum kita jatuh pada kesimpulan apakah kekerasan yang terjadi di komunitas kecil yang homogen seperti yang terjadi di pesantren itu bisa dianggap sebagai kekerasan berbasis keagamaan, maka kita lebih dahulu harus tahu apa definisi kekerasan berbasis atau terkait agama?

Dalam hal ini saya ingin mendefinisikan kekerasan berbasis atau terkait agama secara sederhana. Jadi, kekerasan berbasis atau terkait agama adalah kekerasan yang terjadi karena penggunaan narasi agama. Artinya, dalam melakukan kekerasan, pelaku kekerasan memakai narasi agama sebagai alasan untuk melakukan kekerasan. Memang, definisi ini lebih bias kepada cara pandang dunia modern yang bisa memasukkan tindakan seperti jihad atau lainnya ke dalam definisi peperangan.

Memang dunia modern memiliki cara pandang yang berbeda dengan pandangan lama soal seberapa jauh narasi agama bisa dijadikan sebagai alasan seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan. Posisi saya berada pada cara pandang modern dalam memaknai kekerasan berbasis atau terkait agama. Artinya, saya setuju bahwa setiap bentuk kekerasan yang menggunakan narasi agama sebagai alasannya adalah kekerasan terkait agama itu sendiri.

Saya juga percaya jika Islam sebagai agama kasih sayang memang pada intinya memandang jika dunia nir-kekerasan itu adalah perwujudan dunia yang sempurna. Bukankah inti dari agama adalah untuk menciptakan kebaikan bagi umat manusia?

Jika definisi kekerasan berbasis atau terkait agama yang saya sebutkan tadi dikaitkan dengan pelbagai bentuk kekerasan yang terjadi di pesantren, maka kembali lagi kepada alasan atau motif (latar belakang) si pelaku kekerasan.

Apabila si pelaku kekerasan tidak menggunakan narasi keagamaan sebagai alasan yang melatarbelakanginya untuk berlaku kekerasan, maka jelas tindakan ini tidak bisa dianggap sebagai kekerasan berbasis atau terkait agama (Islam). Meskipun tadi, si pelaku adalah beragama Islam. Tidak semua tindakan seseorang dalam dua puluh empat jam itu dipicu atau dikendarai oleh alasan agama. Bisa jadi mereka melakukan kekerasan karena didorong oleh narasi lain seperti kebencian, hawa nafsu, permusuhan dlsb.

Namun, sebaliknya, jika kekerasan itu kita dapatkan pelakunya memang menggunakan narasi keagamaan yang diyakininya, maka si pelaku bisa dianggap sebagai pelaku kekerasan berbasis atau terkait agama.

Sebagai catatan, kekerasan pada level dan bentuk apapun tidak bisa dibenarkan. Kekerasan berbasis agama itu bisa terjadi di mana-mana dan pelakunya bisa siapa saja. Namun, kita juga harus jeli membaca apakah sebuah kekerasan itu berbasis agama atau tidak karena kehati-hatian untuk mendefinisikan ini bisa menyelamatkan kita dari pandangan yang seharusnya tidak terjadi.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.