Kamis, April 18, 2024

Anjing Mati di Aceh dan Wisata Halal

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Soal kejadian kematian anjing di Aceh baru-baru ini dalam rangka mempersiapkan wisata halal sudah bisa diprediksi jauh sebelumnya. Memang, wisata halal ini pada satu sisi dibutuhkan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan ekonomi negara, namun sisi lain menyimpan kontroversi dalam pelaksanaannya.

Sudah kita ketahui, negeri ini memang sedang semangatnya meningkatkan potensi ekonomi lewat segala hal yang disebut halal. Belum lama ini Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia menjadi pusat industri halal dunia tahun 2024. Artinya, halal akan jadi mainstream di negeri kita.

Sementara itu, tingkat pemahaman apa itu wisata halal memang beragam rupa di tingkat daerah, wisata halal itu hanya dipahami sebagai wujud pelaksanaan syariah dalam bidang wisata. Akibatnya, segala hal yang menurut mereka secara syariah harus ditegakkan, maka itu ditegakkan pula dalam wisata halal. Sementara Anjing di mata sebagian kalangan Muslim yang berpikir “sharia minded” itu dianggap sebagai salah satu hewan yang menjadi penghalang pelaksanaan wisata halal.

Memang, di dalam tradisi Imam Syafii yang menjadi panutan bermadzhab di Indonesia, Anjing dianggap hewan yang harus mereka jauhi. Dalam madzhab ini, jika badan anjing baik itu kering maupun basah, maka diharuskan dicuci tujuh kali dan diakhiri dengan menggunakan tanah-debu yang suci.

Sementara, dalam tradisi madzhab Hanafi, bagian anjing yang basahlah, seperti, air liur, air kencing dan lain sebaainya, itu najis, sementara badannya tidak najis. Madzhab Imam Malik tidak menajiskan anjing secara keseluruhan. Anjing sebagaimana mamalia lain itu suci. Anjing itu bukan najis secara dzatiyyah (bendawi).

Di dalam tataran fikih, yang demikian ini memiliki pandangan bervariasi. Bagi dalam kehidupan keagamaan sehari-hari, dimutlakkan ke dalam satu pandangan saja, yakni anjing itu hewan najis. Bahkan sering dalam kehidupan awam, anjing dianggap sebagai hewan Kristen. Karena hewan Kristen, maka anjing harus dijauhkan atau bahkan ada yang memusnahkannya. Padahal dulu Ashabul Kahfi juga ditemani anjing. Anjing yang terlatih juga digunakan untuk berburu. Bisa saya katakan kebencian terhadap anjing itu merupakan fenomena sebagian kalangan umat Islam di Indonesia.

Pandangan yang cupet seperti ini adalah fenomena sosial kita dalam mempersiapkan Indonesia sebagai obyek wisata halal. Bahkan, saya mendengar di wilayah di mana anjing itu merupakan bagian dari kehidupan mereka, karena menanggapi adanya keinginan agar mereka siap menjadi destinasi wisata halal, mereka mulai mengandangkan anjing-anjing mereka agar menjadi tempat di mana wisata halal benar-benar terwujud.

Hal seperti itu memang ironi namun nyata dalam kehidupan Indonesia. Ketika pemerintah pusat mencanangkan wisata halal, para pencanang ini tidak berpikir pada dampak sosial dan keagamaan yang akan terjadi. Tampaknya, pemerintah pusat ketika mencanangkan program ini lebih menggunakan pendekatan ekonomi, yakni, wisata halal harus sukses dan di buka di mana-mana.

Namun, mereka tidak berpikir bahwa di lapisan masyarakat wisata halal bisa menimbulkan persoalan sosial keagamaan. Kita tidak pernah berpikir jika wisata halal bisa menimbulkan segregas sosial berdasarkan makanan dan minuman. Wisata keagamaan juga bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan keagamaan di lokasi di mana masyarakatnya itu heterogen secara agama.

Kasus Anjing di Aceh itu boleh jadi bukan contoh kasus satu-satunya. Pasti masih ada kasus lain yang belum menyeruak ke permukaan akibat promosi secara masif wisata halal. Karenanya, agar tidak terjadi seperti kasus yang terjadi di Aceh tersebut, maka pemerintah pusat harus benar-benar memberikan guidance untuk wisata halal ini.

Pada prinsipnya, wisata halal itu penting, namun jangan sampai pelaksanaan wisata halal menjadi sebab kemunculan disharmoni, pengikisan terhadap nilai-nilai dan budaya lokal, serta menjadi ajang bagi proses Islamisasi daerah-daerah.

Sorotan saya tujukan kepada penggunaan isu wisata halal sebagai alat untuk islamisasi daerah-daerah. Ada argumen bahwa wisata halal itu ditujukan untuk menarik wisatawan dari Timur Tengah, karena itu nilai-nilai ketimurtengahan harus ditonjolkan atau wisata Muslim.

Namun, jika alasan itu yang dijadikan sebagai alasan, maka hal itu tidak efektif dan cenderung berlebihan apabila diwujudkan dalam bentuk pembersihan anjing dan hal-hal yang mereka anggap haram. Wisata halal menurut saya harus diletakkan pada keadaan kita di Indonesia, yang plural baik dalam hal agama maupun tradisi mereka. Jika hotel atau warung ataupun lainnya ingin menjalankan prinsip wisata halal, ya penuhi saja itu menurut kebutuhan mereka masing-masing.

Di benak penyelenggara daerah, wisata halal masih dianggap sebagai kebijakan yang sifatnya universal and “for all.” Karenanya, jika sebuah daerah itu ingin melaksanakan konsep wisata halal, maka pihak pemerintah daerah menertibkan semua hal yang berkaitan dengan wisata halal itu.

Misalnya, vendor makanan, hotel, dan hal lain lain, termasuk lingkungan dan jalan-jalan serta ruang publik harus dihalalkan semua. Kebanyakan jalan yang ditempuh memang demikian halnya. Namun hal seperti ini bisa merugikan karena belum tentu semua wisatawan menginginkan itu semua. Bahkan tidak semua wisatawan Muslim pun menginginkan keadaan seperti itu. Strategi sosialisasi wisata halal perlu mengukur banyak hal. Jika tidak, alih-alih mendatangkan wisatawan, malah para wisatawan menjauh karena pelaksanaan konsep wisata halal yang seperti demikian.

Menurut saya, pemerintah harus menangani masalah seperti ini secara serius agar tidak terulang kejadian yang serupa seperti di Aceh. Menteri Pariwasata, Sandiaga Uno tidak cukup mengatakan bahwa masyarakat salah kaprah memahami wisata halal, namun harus mencarikan jalan keluar agar konsep wisata halal tidak dipahami seperti itu. Sektor wisata halal ini haruslah dirumuskan dalam konsep-konsep yang terbuka. Jangan sampai pemahaman pelaksanaan Wisata halal sebagaimana yang terjadi di Aceh ini menjadi cermin Islam. Jangan sampai wisata halal itu terkesan menampilkan hal-hal yang seram.

Sebagai catatan, kasus penataan wisata di Aceh itu bukan konsep wisata halal yang seharusnya. Wisata halal harus berusaha menjadi wisata yang terbuka bagi seluruh orang tanpa memandang agama dan keyakinan mereka.

Wisata halal itu bukan berarti meniadakan hal-hal yang dipandang tidak halal, namun cukup informasi tentang halal itu diberikan, misalnya tempat ini halal, makanan ini halal dan minuman ini halal dan sebagainya. Vendor wisata halal hanya menyediakan pilihan dan informasi wisata halal, namun yang menentukan tetaplah marketnya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.