Jumat, Mei 3, 2024

Menolak Konser Coldplay?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kabar penolakan atas pementasan grup musik asal Inggris, Coldplay, dari wakil ketua umum MUI, Anwar Abbas, setelah sebelumnya Persaudaraan Alumni 212. Beliau melarang dengan alasan bahwa grup musik itu pendukung LGBT. Beliau berlogika jika kita menerima konser Cold Play berarti kita juga menerima LGBT.

Anwar Abbas juga lebih lanjut menyatakan jika Indonesia menerima Coldplay yang mendukung LGBT, maka itu bertentangan dengan konstitusi kita, Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1. Menurut penfasiran Anwar Abbas atas pasal di atas, kita, di Indonesia, tidak diperbolehkan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran agama.

Beliau juga menambahkan jika tidak ada dari enam agama yang resmi di Indonesia yang bisa menerima LGBT. Atas dasar argumen-argumen yang dikemukakan di atas, Anwar Abbas menolak secara mutlak Coldplay.

Jika kita menengok peristiwa masa lalu, maka aksi penolakan terhadap grup musik asing sudah terjadi berkali-kali. Pada tahun 2012, MUI menolak Lady Gaga. Suara penolakan itu dikemukakan oleh Almarhum kyai Yunahar Ilyas sebagai wakil dari MUI.

Pada sat itu, beliau mengajukan empat alasan mengapa konsep Lady Gaga harus dibatalkan. Pertama, “Pertama, konser tersebut bertentangan dengan konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, norma agama, Pancasila, UUD 1945,”.

Kedua, MUI menilai Lady Gaga sebagai ikon pornografi dan liberalisme budaya. Wanita keturunan Italia itu juga merupakan sosok yang mengagungkan kebebasan tanpa batas. Ketiga, “rencana konser ini telah menyebabkan pro dan kontra yang menguras energi bangsa dan berpotensi menimbulkan konflik yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.”

Keempat, “konser tersebut telah secara nyata mengumbar hedonisme, mematikan semangat kesetiakawanan sosial dan rasa solidaritas.” Pada tahun 2012, FPI menolak kehadiran Lady Gaga.

Saya masih ingat, Habib Salim Alatas mengatakan “Yang kita tolak karena syair lagunya, penampilannya yang seronok, dan dia membawa aliran setan.”
Dia menyatakan “Kita ini negara Pancasila, bukan negara setan. Sila pertama itu Ketuhanan bukan kesetanan. Di Korea dia ditolak, di China yang komunis ditolak, pemuda Kristen di Filipina juga menolak.” Tidak hanya FPI, HTI juga menolak konser Lady Gaga.

Sebenarnya kasus penolakan sebuah konser itu tidak hanya terjadi pada grup musik dari luar negeri, namun juga terjadi pada grup musik dalam negeri seperti yang terjadi beberapa kali di Aceh.

Oh ya, ternyata mereka yang mengeluarkan penolakan atas konser Coldplay sekarang ini berasal dari kelompok masyarakat yang dulu juga menolak konser Lady Gaga. Argumen-argumen yang dikemukan juga hampir senada.

Hal yang paling penting adalah usaha mereka untuk menolak kehadiran Lady Gaga berhasil. Polisi pada tahun 2012 tidak mengeluarkan izin bagi pelaksanaan konser ini. Polda Metro Jaya memberikan rekomendasi pada Mabes Polri agar izin konser Lady Gaga tidak diberikan. Alasannya adalah soal sosial budaya dan ini memiliki dampak pada keamanan.

Karenanya, jika sekarang kelompok yang hampir sama menyuarakan penolakan Coldplay maka itu jangan dianggap hal remeh karena sejarah telah membuktikan bahwa upaya penolakan mereka pernah terkabul.

Bagi mereka juga tidak ada salahnya apabila usaha yang sama dilakukan untuk Coldplay. Lalu letak persoalannya dimana? Hal ini sangat tergantung pada bagaimana negara atau dalam hal ini pemerintah menyikapinya?

Saya melihat bahwa soal rasa pada seni, termasuk seni musik itu, tidak bisa menggunakan logika kasualitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Anwar Abbas. Jika suka Coldplay maka suka LGBT, jika berteman koruptor maka pasti setuju dengan korupsi, dlsb. Hidup manusia itu tidak bisa diukur lewat hal-hal yang sifatnya monolitik dan hitam putih.

Almarghfurlah Gus Dur misalnya adalah pecinta musik dan salah satu grup musik yang beliau sukai adalah Led Zeppelin dan Guns N Roses dan Rolling Stone. Gus Dur melihat dari sisi lain karena seni dan budaya itu tidak bisa dipahami dari satu sisi saja, namun juga ada sisi-sisi lain yang itu perlu dilihat. Kata Gus Dur, mereka itu, dalam lagu-lagunya memiliki jiwa (soul).

Gus Dur adalah seorang ulama dan cendekiawan Islam. Dia melihat musik tidak hitam putih. Dia melihat Led Zeppelin yang pemain musiknya memiliki kontroversi dalam perilaku kesehariannya tidak dilihatnya dari perilaku mereka namun dari “jiwa” lagu-lagu mereka.

Saya melihat bahwa penilaian atas Coldplay, Lady Gaga, Led Zeppelin dlsb, itu tidak sesederhana itu. Bagaimana kita menilai bahwa puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang yang akan menonton dan konon ribuan lagi yang tidak dapat tiketnya akan mengikuti LGBT atau hal lainnya?

Mereka yang ingin menonton juga banyak orang-orang yang terpelajar, orang memperhatikan kehidupan agama dan moral dan para penyelenggara negara juga. Bahkan Sandiaga Uno minta agar Coldplay bisa main dua kali untuk mengakomodasi mereka yang tidak kebagian tiket untuk hari pertama.

Dalam konteks ini, saya sama sekali tidak keberatan dengan mereka yang menyuarakan penolakan atas kehadiran Coldplay di Indonesia. Sebagai warga negara, mereka memiliki hak untuk menyuarakan itu sebagai keyakinan mereka bahwa konser Coldplay harus dilarang karena bahaya secara akidah. Sah-sah saja aspirasi itu disuarakan sebagai hak berpendapat.

Namun hak berpendapat seperti itu juga jangan dianggap sebagai hal yang harus diikuti oleh pihak di luar yang berpendapat demikian. Mereka yang menolak Coldplay tidak boleh memaksakan pendapat mereka pada pihak yang menerima Coldplay. Prinsip yang harus dipakai adalah mereka sama-sama warga negara Indonesia.

Karenanya, menurut saya, kontroversi Coldplay itu sangat tergantung pada pihak yang memiliki otoritas. Jika misalnya Pemerintah atau Polisi takut dengan tekanan tokoh-tokoh yang menolak: PA 212 dan MUI—sebagian tokohnya—misalnya, maka peristiwa yang terjadi pada Lady Gaga pada tahun 2012 bisa saja terulang lagi pada Coldplay.

Sebagai catatan, secara pribadi, saya berharap bahwa Coldplay tidak dibatalkan. Biarkan Coldplay bermain di Indonesia dan ditonton oleh para penggemarnya di sini. Bukankah negara harus mampu mengatasi hal-hal yang seharusnya dan selayaknya di atas. Bukankah negara tidak boleh kalah atas tekanan-tekanan kelompok yang memaksakan kehendaknya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.