Jumat, April 26, 2024

Yahya Waloni dan Muhammad Kace, Fenomena Balas Membalas

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Dua kasus penodaan agama yang mewarnai kita terjadi pada Yahya Waloni dan Muhammad Kace. Penodaan agama memang persoalan krusial dan nampaknya akan selalu ada sepanjang kita masih memiliki UU atau peraturan yang memungkinkan orang untuk diproses hukum dengan pasal penistaan agama.

Sudah banyak orang yang dijerat dengan pasal penistaan agama. Kasus penistaan agama ini agak rumit. Pada satu sisi kebanyakan orang menganggap pasal penistaan agama masih diperlukan, namun tidak jarang pula pasal ini digunakan untuk tujuan yang berbeda yakni menjebak lawan politik demi urusan politik. Meskipun kasusnya sudah banyak namun dari kita tidak menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga bagaimana pasal penodaan agama bisa digunakan untuk hal-hal di luar konten pasal tersebut.

Dulu, Gus Dur bersama tokoh-tokoh lain pernah mengupayakan agar peninjauan pasal penodaaan agama bisa dilakukan. Namun, di dalam proses judicial review, hampir semua ormas Islam dan juga lembaga wakil pemerintah menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Indonesia masih butuh aturan ini. Justru jika tidak ada aturan, maka akan mengganggu toleransi dan harmoni antar umat beragama. Akhirnya Mahkamah Konstitusi mempertahankan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 PNPS Tahun 1965 tetap diberlakukan.

Kini, pasal penodaan agama banyak digunakan. Penggunaannya ada yang sesuai denga isi PNPS tersebut, namun ada juga yang tidak. Bahkan, pasal penodaan ini kerap kali digunakan sebagai alat untuk menjerat pihak lain yang tidak kita sukai, misalnya, karena beda sikap ideologi dan juga politik.

Saya melihat bahwa Yahya Waloni dan Muhammad Kace ini memang menjengkelkan, namun untuk menyeret mereka sebagai pihak yang menista agama melalui pasal penodaan agama ini yang perlu kita renungkan kembali.

Saya harus mengatakan bahwa Yahya Waloni memang tidak pantas menyampaikan dakwah keIslaman. Demikian juga Muhammad Kace. Materi dakwah dan konten youtube yang dibawakan keduanya boleh dikatakan tidak ada isinya, kecuali kebencian dan hasutan pada Kristen atau pada Islam.

Yahya Waloni, dengan modal sebagai mualaf seolah-olah dia dianggap orang yang benar-benar tahu tentang agamanya, sehingga ujaran kebencian atas agama yang dipeluk sebelumnya dianggap pasti benar oleh para pendengarnya. Harus diakui bahwa dakwah model Yahya Waloni ini memang paling gampang merebut hati audien, namun tidak mendidik sama sekali. Dakwah harus mendidik. Muhammad Kace juga sama halnya.

Kita selama ini sudah tahu bahwa Yahya Waloni dan orang yang seperti dia itu banyak. Mereka selama ini memiliki kebebasan untuk berdakwah berdakwah di ruang publik. Ya, semestinya memang seperti itu. Namun kebebasan yang mereka punyai tidak disertai dengan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai seorang penyampai dakwah; salah satunya adalah pengetahuan dan kemampuan yang dalam tentang materi dakwah yang disampaikannya. Ini merupakan bentuk tanggung jawab mereka sebagai pendakwah.

Para tokoh dan otoritas keagamaan, kaum ulama seperti MUI, selama ini juga banyak yang sudah tahu bahwa dakwah Yahya Waloni kerap melukai keyakinan pihak lain. Tidak hanya dakwah Yahya Waloni, namun juga dakwah mubalig-mubalig lain. Namun, kenyataan bagi kita juga mengapa sikap pemegang otoritas keagamaan diam dan baru memaklumi setelah polisi bertindak karena ada pihak yang melaporkan Yahya Waloni.

Harusnya, ketika para pemegang otoritas keulamaan tahu jika Yahya Waloni menebar kebencian pada agama dan keyakinan pihak lain, maka Yahya Waloni harus mendapat saran dan teguran mereka. Pendek kata, pemegang otoritas keagamaan harusnya segera turun tangan sejak awal, tidak harus menungggu sampai ceramah Yahya Waloni diperkarakan orang, sehingga Yahya Waloni bisa memperbaiki diri. Hal-hal preventif seperti ini yang sebetulnya bisa menjadi cara agar pasal penodaan agama tidak digunakan. Ini lebih menggunakan pendekatan kebudayaan dimana hal yang sama sebenarnya juga bisa digunakan untuk kasus Muhammad Kace untuk bagi otoritas keagamaan yang menaunginya.

Justru kesadaran akan adanya dakwah yang ekstrem di tengah-tengah masyarakat dirasakan lebih dahulu oleh pihak pemerintah. Karenanya, pemerintah melalui Kemenag pada saat itu mengusulkan agar ada program sertifikasi untuk pendakwah. Sertifikasi ini dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas pendakwah, agar materinya lebih berbobot, tidak melalukan hate speech dlsb. Namun, upaya ini ditentang mentah-mentah. Bahkan saat itu, Anwar Abbas, secara lantang menolak sertifikasi pendakwah.

Anwar Abbas mendekati masalah sertifikasi pendakwah secara politik bahwa program sertifikasi dakwah akan dijadikan sebagai jalan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf untuk menghegemoni mereka para pendakwah. Tapi, ketika Yahya Waloni dilaporkan ke polisi dan polisi menahannya, Anwar Abbas mengatakan apresiasinya pada penangkapan itu. Padahal jika usulan Kemenag agar diadakan semacam pendidikan bagi para pendakwah, urusan lapor melapor dengan menggunakan pasal penodaan agama bisa dihindarkan.

Artinya, setiap ada fenomena dakwah yang aneh, maka otoritas keagamaan yang ada, entah itu Kemenag, NU, Muhammadiyah dan MUI, bisa melakukan gerakan jemput bola. Ketika salah seorang pendakwah misalnya muncul dengan ceramah yang memuat konten kebencian baik pada umat manusia maupun pada keyakinan dan agama pihak yang lain maka mereka bisa langsung melakukan pendekatan pada pihak penyampai ini. Hal ini perlu menurut saya sangat perlu untuk menghindarkan dampak yang lebih parah di tingkat masyarakat. Pendekatan ini juga lebih aman karena pada satu sisi kebebasan menyampaikan pendapat tetap dibuka, namun pada sisi lain, jika penyampaian pendapat itu menyebabkan terjadinya perasaan dihina atau dinista dari pihak lain, maka itu ada solusi sosial dan budaya. Hal ini untuk menghindarkan penuntutan hukum sebagai satu-satunya solusi.

Saya selama ini melihat ada kesan bahwa pasal penodaan agama digunakan sebagai sarana untuk balas membalas antar kelompok umat beragama. Hal Yahya Waloni kena pasal, maka Muhammad Kace atau pihak lain juga harus kenal pasal. Kehidupan keagamaan yang saling mengintai dan mencari celah seperti ini sebetulnya tidak sehat. Jelas hal ini mencerminkan kita sebagai bangsa yang belum siap dengan kebebasan berbicara dan ketidakdewasaan dalam kehidupan keagamaan.

Sebagai catatan, kasus Yahya Waloni dan Muhammad Kace sebenarnya bisa kita jadikan contoh yang kesekian banyaknya bahwa kita perlu mengakhiri fenomena tuntut menuntut dan saling incar serta balas yang menggunakan pasal penistaan agama. Sebenarnya solusinya bisa meninjau ulang, namun nampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum mau. Jika demikian, maka harus ada mekanisme sosial dan budaya agar tuntut menutunt yang menggunakan pasal penodaan itu tidak lagi terjadi.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.