Selasa, April 23, 2024

What a Wonderful World

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

 

Seorang imigran Afghanistan membawa putranya, diikuti oleh istrinya saat mereka berjalan melewati sebuah ladang di dekat perbatasan Yunani-Makedonia dari desa perbatasan Idomeni di prefektur Kilkis, Yunani. Reuters/Yannis Behrakis
Seorang imigran Afghanistan membawa putranya, diikuti oleh istrinya saat mereka berjalan melewati sebuah ladang di dekat perbatasan Yunani-Makedonia dari desa perbatasan Idomeni di prefektur Kilkis, Yunani. Reuters/Yannis Behrakis

Umat manusia masih membutuhkan pengingat untuk menyemaikan keadilan dan perdamaian.

Dimulai denting piano akustik yang dimainkan seorang anak lelaki di sebuah rumah di Prancis. Lalu masuk paduan suara anak-anak Uganda, yang riang menari sambil menyanyi.

I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself what a wonderful world

Ditimpali suara serak lelaki dari New Orleans. Bercampur paduan riang anak-anak dari Los Angeles. Dan ditingkahi melodi petikan gitar listrik lelaki dari Kongo, Afrika.

Aransemen itu begitu padu menyatu. Mereka seperti sedang bernyanyi bersama di satu tempat, padahal mereka ada di belahan bumi yang berbeda.

Lebih dari 50 anak dan dewasa, dari berbagai penjuru dunia, terlibat dalam satu video musik “What a Wonderful World” berdurasi 3 menit, yang bisa kita lihat di YouTube. Video musik itu merupakan satu dari belasan eksperimen menyatukan musisi dan penyanyi dari berbagai belahan dunia, yang tidak saling kenal, untuk bersama menyanyikan lagu demi lagu.

Dikenal sebagai proyek “Playing for Change”, yang dimulai sejak 2002, kolaborasi itu bertujuan menyatukan umat manusia dalam satu bahasa, yakni musik, di tengah keragaman budaya dan suku bangsa dunia. Dengan kata lain, mempromosikan perdamaian dan persamaan derajat manusia.

“What a Wonderful World” mengingatkan saya pada New Orleans, tempat lagu itu pertama kali diperdengarkan oleh penyanyi jazz legendaris mendiang Louis Armstrong. Inilah kota paling berkesan yang pernah saya kunjungi. Terasa kumuh dibanding kota-kota lain Amerika, lebih dari separo penduduknya kulit hitam, tapi ini pula kota yang menyenangkan: surga musik jazz dan blues, yang bisa kita nikmati baik di cafe-cafe maupun di trotoar lewat para pengamen jalanan.

Lagu itu sesuai misi perdamaian “Playing for Change”. Digubah pada 1960-an, di tengah kuatnya sentimen konflik rasial Amerika, syair lagu ini menawarkan sudut pandang optimistis seorang bayi yang baru dilahirkan. Mengajak orang, apa pun warna kulitnya, melihat dunia yang segar dan menyenangkan.

The colors of the rainbow so pretty in the sky
Are also on the faces of people going by
I see friends shaking hands saying how do you do
But they’re really saying I love you

Tema cinta dan persahabatan juga sangat terasa pada “Standing by Me”. Ini lagu paling populer dalam album Playing for Change, dilihat lebih 75 juta kali sejak diunggah di YouTube sepuluh tahun lalu.

Bersyair sederhana dan berirama rhythm and blues, lagu ini melibatkan musisi, vokalis, dan beragam alat musik dari 13 negara. Dibuka dengan vokal dan petikan gitar penyanyi jalanan di Santa Monica, California, lagu ini meluncur ditingkahi tambur suku Indian New Mexico, okulele dari Rio de Janeiro (Brasil), rebana dari Toulouse (Prancis), dan gesekan cello dari Moskow (Rusia).

Belum cukup dengan itu semua, lagu ini digoyang oleh melodi gitar akustik dari Caracas (Venezuela), drum dari Kongo, bongo dari Barcelona (Spanyol), dan bas betot dari Guguletu (Afrika Selatan). Serta disayat-sayat oleh harmonika dari New Orleans dan saksofon dari Pisa (Italia). Vokal diperkaya oleh penyanyi Amasterdam (Belanda), New Orleans, dan paduan suara dari Umlazi (Afrika Selatan).

Tak hanya menawarkan keragaman vokal dan alat musik dalam sebuah lagu, “Stand by Me” menonjolkan nuansa jalanan dan musisi tak dikenal, yang membuatnya universal, dan terasa baru. Padahal, lagu itu digubah dan dinyanyikan pertama kali setengah abad lalu oleh Ben Earl King.

Tak semua lagu berbahasa Inggris. “Chanda Mama” dari India dan “La Bamba” dari Amerika Latin masuk dalam album kolaboratif itu. “Guantanamera”, lagu populer lain Amerika Latin, dinyanyikan 80 orang Kuba yang bermukim di berbagai belahan dunia.

Aroma reggae yang ketal antara lain muncul lewat “No More Trouble” dan “Get Up Stand Up” dari Bob Marley, yang mengambil tema kemiskinan dan antiperang. Tema seperti itu pada pada 1960-an dianggap sebagai pemberontakan. Tapi, tentu saja pembebasan dari sudut pandang lain.

Setengah abad lebih setelah kejayaan Louis Armstrong dan Bob Marley, umat manusia masih membutuhkan pengingat untuk menyemaikan keadilan dan perdamaian. Agar dunia benar-benar wonderful. Agar kita bisa menikmati hijaunya pohon, merahnya mawar, dan begitu kaya warna pelangi di langit. ***

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.