Orang bilang, Danau Sentarum surga bumi yang diabaikan. Terletak dekat perbatasan Kalimantan-Serawak, inilah danau musiman, gentong air raksasa, yang terluas dan paling unik di Asia.
Sentarum adalah etalase bagaimana alam bekerja melindungi manusia dari banjir dan kekeringan. Serta kebakaran hutan.
Pada musim hujan Sentarum penuh air, membentuk pemandangan seksi: pulau-pulau kecil dikelilingi perbukitan berisi desa-desa tradisional Dayak dan Melayu. Pada musim kemarau air mengering, menawarkan pemandangan yang sama sekali berbeda: lembah padang rumput luas yang menyisakan sungai kecil di sela-sela rimbun hijau hutan rawa.
Ketika tergenang, dia menghidupi berbagai jenis ikan, salah satunya arowana merah yang sangat populer. Juga beberapa jenis hewan melata, termasuk senyulung, buaya moncong panjang yang unik. Ratusan jenis burung, termasuk rangkong yang menjadi ikon Pulau Kalimantan, ada di sini. Sentarum juga rumah bagi monyet bekantan yang menggemaskan.
Sentarum dan hutan sekelilingnya punya keragaman flora dan fauna yang sangat kaya, salah satu ekosistem lahan basah yang terkaya di kawasan tropis. Tapi, keunikan Sentarum yang paling mencengangkan adalah bagaimana dia mengatur siklus air secara alamiah.
Sentarum adalah nyawa Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Pada musim penghujan, danau ini menyerap sebagian besar air hujan di hulu sungai. Di musim kemarau, perlahan dia melepaskan tabungan airnya. Tanpa Sentarum, Kapuas bisa banjir melebihi kapasitasnya di musim hujan dan kerontang sama sekali di musim kemarau.
Sentarum adalah buku terbuka tentang alam. Kunci dari kemampuan tata air itu terletak pada lapisan tanah gambut di hutan-hutan sekelilingnya. Gambut Sentarum merupakan gambut tertua di kawasan tropis bumi.
Lapisan tanah gambut terbentuk oleh batang, ranting dan daun pepohonan rawa yang mati ribuan-jutaan namun tidak membusuk sempurna. Sistem kapiler tanah ini punya kemampuan menyimpan air. Dia selalu basah. Itu sebabnya Sentarum disebut ekosistem lahan basah (wetlands).
Lahan basah gambut di Indonesia tersebar di Kalimantan dan Sumatra. Tapi, ekosistem yang semestinya menjadi penyelamat ini belakangan justru menjadi bencana bagi manusia. Akibat kesalahan manusia sendiri.
Sasaran ekonomi jangka pendek membuat kita bangga dan senang. Sambil menyembunyikan dampak negatifnya ke bawah karpet. Tapi, asap tak bisa disembunyikan.
Ekosistem gambut rusak ketika hutan dibuka secara agresif, baik untuk diambil kayunya maupun untuk memberi jalan bagi perluasan kebun sawit. Pada masa Orde Baru, akibat minimnya pengetahuan atau kecerobohan, pemerintah berambisi mengubah lahan gambut, yang nampak tak berharga itu, menjadi lahan sawah sejuta hektar.
Setelah rusak, ekosistem gambut tak lagi menyimpan air. Tanahnya menjadi sangat kering. Ketika kemarau dia mudah terbakar bahkan oleh puntung rokok sekalipun; atau oleh gesekan ranting kering tanpa campur tangan manusia sama sekali. Kebakaran lahan gambut sangat sulit dipadamkan karena bara apinya menyusup ke dalam lapisan tanah.
Kebakaran luas dan bencana asap di Sumatra-Kalimantan yang berlangsung pekan-pekan ini adalah buah dari kerusakan itu. Bencana asap itu datang setiap tahun dalam dua-tiga dasawarsa terakhir. Dan makin parah.
Tak hanya merusak kesehatan jutaan manusia dan menggangu aktivitas bisnis serta penerbangan, kebakaran akut itu membuat kita pantas malu. Singapura dan Malaysia mencibir kita sebagai bangsa yang bebal, untuk alasan yang bisa dipahami.
Kini kita tahu, bencana kebakaran hutan bukanlah bencana alam, bahkan jika tidak ada orang atau perusahaan yang bisa jadi kambing hitam pelaku pembakaran. Bencana itu buah dari ulah manusia sendiri.
Mendorong pertumbuhan ekonomi, Orde Baru mengkapling hutan untuk ditebang secara masif. Untuk alasan yang sama, Orde Reformasi membuka hutan lebih luas lagi untuk kebun sawit, yang sebagian besar merusak lahan gambut. Sawit jadi primadona. Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia menyalip Malaysia sebagai eksportir minyak sawit terbesar di dunia.
Pemerintahan baru Presiden Joko Widodo mewarisi kerusakan hutan tropis dan ekosistem lahan gambut yang sudah parah. Namun, sayang, tidak membuat koreksi: pemerintah ini meneruskan ambisi menjadikan sawit sebagai komiditas unggulan, dan memperluas kebun bahkan hingga Papua yang perawan.
Kita menderita rabun jauh. Sasaran ekonomi jangka pendek membuat kita bangga dan senang. Sambil menyembunyikan dampak negatifnya ke bawah karpet. Tapi, asap tak bisa disembunyikan.
Belajar dari Danau Sentarum kita tahu bahwa melecehkan lahan gambut yang nampak sederhana akan berbalik menghantam kita. Kerugiannya berlipat ganda dan bertahun-tahun.