Kamis, April 25, 2024

Sekolah dan Pendidikan Intoleransi di Indonesia

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

Belakangan banyak muncul sekolah swasta berbasis agama. Tak cuma Islam. Muridnya datang dari satu agama, bahkan satu mazhab. Mereka hampir tak mengenal agama atau kelompok lain.

Banyak pula lembaga pendidikan swasta eksklusif, bukan berbasis agama, tapi kekayaan orangtuanya. Muridnya datang dari kelompok sosial tertentu. Mereka hampir tak mengenal kelompok lain. Itu salah satu faktor kenapa intoleransi muncul: privatisasi pendidikan.

Privatisasi mendorong naiknya peran sekolah swasta, dan surutnya peran lembaga pendidikan publik (sekolah negeri). Sekolah negeri juga dianggap inferior, kalah mutunya, dari yang swasta.

Privatisasi sekolah sejalan dengan privatisasi di sektor-sektor publik lain termasuk kesehatan. Itu merupakan bagian dari program unggulan kapitalisme: mengurangi peran negara, meningkatkan peran swasta. Negara lepas tangan. Di Indonesia, lepas tangannya cenderung ekstrim.

Anggaran publik untuk pendidikan dan kesehatan (public social spending) kita salah satu yang paling rendah di Asia (in term of % GDP).Kita lebih kapitalistik bahkan dari negeri-negeri Amerika dan Eropa.Jika sekolah-sekolah swasta berbasis agama menjamur, dan itu dinilai sebagai faktor pemicu intoleransi, salahkan pertama-tama pada format ekonomi kita.

Juga pada pandangan-pandangan umum di kalangan orangtua yang menilai rendah sekolah publik (negeri).

Saya menyekolahkan anak di SD dan SMP berbasis Islam (Nurul Fikri yang dimotori teman-teman PKS) di pinggiran Jakarta. Saudara dan teman saya menyebut bahwa lembaga pendidikan swasta tak bisa dipercaya mutunya. “Anak kok dijadikan eksperimen,” kata mereka. “Memangnya sekolah formal yang pake kurikulum resmi bukan eksperimen?” jawab saya.

Tapi, saya minta mereka masuk SMA negeri, di kota kecil (Cirebon dan Wonosobo) Banyak teman, saudara dan kerabat yang kembali mengkritik saya. Menurut mereka, sekolah di kampung itu rendah mutunya, apalagi yang negeri. Selalu ada yang memprotes dan menyebut bahwa yang satu lebih baik dan yang lain lebih buruk.

Saya tak peduli. Buat saya, penting bagi anak-anak untuk mengenal komunitas yang lebih beragam (agama maupun kelompok ekonomi). Juga mengenal alam-lingkungan yang beragam (hutan dan sungai, tak cuma mall ala Jakarta).

Tak harus masuk kurikulum secara formal, kearifan lokal dan tradisional sudah dengan sendirinya tersedia untuk dikenali. Lembaga pendidikan negeri di desa potensial mengajarkan toleransi dalam makna sebenarnya.

Biayanya juga sangat murah. Dan karena murah, saya bisa menabung untuk membiayai mereka kuliah di Jerman dan Universitas Indonesia. Jika ingin memperkuat kembali toleransi, salah satunya adalah mengembalikan marwah institusi-institusi publik: termasuk lembaga pendidikan negeri yang dikelola pemerintah.

Dulu saya pernah menulis, di Indonesia, baik di sekolah maupun di masyarakat, kita didorong untuk makin ketat berkompetisi (bukan bekerjasama/kolaborasi). Kita berebut paling pintar, paling kuat, paling berkuasa, paling kaya.

Sosial Darwinism adalah hal yang dianjurkan. Kompetisi “idol” tak hanya ada dalam musik tapi hampir semua aspek, termasuk pemilu. Sedemikian luas dan lazim sehingga kita lupa bahwa menjadi pecundang sebenarnya bukanlah aib.

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.