Rabu, April 24, 2024

Pala, Run dan Manhattan

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

Manhattan, New York, adalah ibukota politik dan keuangan dunia. Di sinilah tempat Perserikatan Bangsa-Bangsa bermarkas dan WallStreet berada. Inilah kota terkaya dan terpadat di dunia. Sebaliknya Run, Kepulauan Banda, miskin, sepi, dan terpencil, bahkan untuk ukuran Indonesia.

Begitu kontras dan terpisah di seberang planet bumi, Manhattan dan Run terikat oleh momen sejarah yang sama. Sejarah yang menyimpan drama, ironi, konspirasi dan tragedi.

Perjanjian Breda, pada 31 Juli 1667, mempertautkan keduanya. Belanda dan Inggris saling bertukar wilayah jajahan. Pulau Run (Banda, Maluku) yang kala itu dikuasai Inggris ditukar dengan Manhattan (New Amsterdam) yang dikuasai Belanda.

Tahun ini, 2017, perjanjian monumental itu diperingati di New York maupun Maluku. Peringatan 350 Tahun Perjanjian Breda, memiliki signifikansi internasional, dan membawa sejumlah pelajaran penting.

Pertama, tentang kekayaan rempah-rempah yang begitu menggoda, khususnya pala, tanaman khas Maluku. Rempah-rempah mengubah wajah dunia dan menggerakkan perdagangan global jauh sebelum istilah globalisasi populer didengungkan. Globalisasi yang tidak selalu berbuah manis.

Kedua, perburuan rempah memicu perlombaan maritim sengit bangsa Eropa. Itulah perlombaan yang bermuara pada penemuan Amerika oleh Christopher Columbus, pada perkembangan ilmu-teknologi maritim di satu sisi, namun juga kolonialisme berdarah di sisi lain.

Ketiga, monopoli perdagangan rempah oleh VOC, yang dicerminkan antara lain oleh tekad untuk menguasai Banda sendirian, menunjukkan satu hal: betapa kaya alam Maluku, dan Kepulauan Indonesia pada umumnya, salah satu negeri dengan keragaman hayati terdahsyat di muka bumi, baik di darat maupun lautnya. Itulah keragaman alam yang mengilhami keragaman adat, budaya dan seni.

Manhattan dan Run masa kini tidak sebanding dari segi apapun. Tapi keduanya memiliki tempat yang setara dalam sejarah. Maluku dan Indonesia tak bisa, dan tidak perlu, meniru New York maupun Amerika Serikat. Maluku dan Indonesia hanya perlu menggali lagi jati dirinya: bangsa bahari dengan kekayaan alam dan budaya yang patut dibanggakan.

Di tengah arus besar global “back to nature”, baik dalam wisata, pangan, dan gaya hidup, keunggulan Indonesia justru terletak pada keaslian dan kelestarian alam serta keragaman hayatinya. Itu relevan dengan tema penting Pemerintahan Joko Widodo sekarang: pengembangan maritim, perikanan, kelautan dan kedaulatan pangan.

Pala dan rempah-rempah bukan cuma makanan, tapi juga bahan obat-obatan yang sudah dikenal dalam berbagai peradaban kuno. Tiga setengah abad lalu, pala adalah simbol prestise dalam sajian kuliner café dan restoran kota-kota besar Eropa: Amsterdam, Lisbon dan Venesia. Godaannya terbukti begitu besar sehingga memicu persaingan dahsyat bangsa Eropa mencari koloni baru.

Kini, tiga setengah abad setelah Breda, buah pala mungkin tak lagi menjadi komoditas sepenting dulu. Tapi, pala dan rempah-rempah belum berhenti dicari di seluruh dunia.

Pasar rempah-rempah dunia tumbuh 50% dalam 10 tahun terakhir dipicu oleh kesadaran “kembali ke alam”, kembalinya konsumen ke penggunaan bahan pangan, obat, kosmetik dan pembersih alami.

Rempah-rempah adalah bahan dasar dari semua industri pangan, obat dan kosmetik yang kebutuhannya semakin besar. Kebutuhan akan rempah-rempah juga meningkat dipicu oleh industri minyak atsiri (essential oil). Beberapa survai menunjukkan pasar minyak atsiri mengalami pertumbuhan eksplosif, senilai US$ 9,8 Miliar pada 2020.

Indonesia kaya akan sumberdaya genetik (plasma nutfah) tanaman aromatik yang menghasilkan minyak atsiri. Ada lebih dari 150 jenis minyak atsiri di dunia, dan setidaknya 50 jenis potensial diproduksi di Indonesia.

Indonesia tak harus puas hanya mengekspor bahan mentah, namun mengolahnya menjadi bahan konsumsi yang lebih bernilai. Ini menuntut pula eksplorasi dalam sains dan teknologi yang berbasis pada sumberdaya alam.

Tak hanya rempah. Kepulauan Indonesia adalah salah satu dari “megadiversity”, negeri yang punya daratan sekaligus laut, serta punya 5.000 lebih spesies tanaman yang tak ada di tempat lain. Jika Amerika itu superpower politik dan militer dunia, Indonesia adalah adidaya keragaman hayati.

Dari segi kekayaan spesies flora dan fauna endemik, Indonesia menempati urutan kedua setelah Brazil. Indonesia memiliki kawasan hutan tropis terluas, yang hanya kalah dari Amazon. Tapi, lebih dari Brazil, Indonesia memiliki terumbu karang terluas di dunia.

Indonesia dihuni oleh 25.000 lebih spesies tanaman, 750 lebih reptilita, 500 lebih mamalia, 1.600 lebih spesies burung, ribuan spesies anggrek dan 200 lebih spesies amfibi. Itu semua belum menghitung keragaman koral dan biota bawah laut.

Ekosistem Indonesia juga sangat beragam, dari gunung bersalju di Carstensz (Papua), hutan tropis di Tanjung Puting, hutan rawa di Berbak dan Sembilang, ekosistem gambut di Sebangau, mangrove di Bali Barat, padang lamun di Takabonerate dan karang bawah laut Wakatobi.

Maluku, dengan sekitar 5.000 pulau, adalah miniatur Kepulauan Indonesia. Tak cuma miniatur. Maluku juga merupakan kepulauan yang paling asli dari Indonesia, dengan sejarah alam dan budaya yang unik, karena terpisah dari benua besar. Maluku merupakan bagian dari wilayah yang disebut Walasea, diambil dari nama petualang Inggris, Alfred Wallace.

Maluku memiliki tempat penting dalam sejarah ilmu pengetahuan. Di sinilah Alfred Wallace menulis “Surat dari Ternate” (1860), berisi risalah “teori evolusi” sebelum Charles Darwin. Teori itu lahir dari pengamatannya terhadap flora dan fauna ketika berkeliling Nusantara, termasuk Maluku, satu setengah abad lalu. Buku “The Malay Archipelago” karya Wallace adalah bacaan wajib tentang sejarah alam Kepulauan Indonesia.

Maluku dan Indonesia tak bisa, dan tidak perlu, meniru New York maupun Amerika Serikat. Maluku dan Indonesia hanya perlu menggali lagi jati dirinya: bangsa bahari dengan kekayaan alam dan budaya yang patut dibanggakan. *

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.