Gambar di bawah ini banyak beredar di media sosial (saya berterima kasih kepada rekan Paksi Dewandaru yang bikin).
Pesan gambar itu jelas: memprotes kecenderungan instansi pemerintah yang cenderung cuma peduli pada sopir/tukang ojek online di musim corona.
Dampak ekonomi corona dirasakan oleh semua sektor informal. Tapi mengapa cuma ojol yang diperhatikan? Mengapa pekerja lain di sektor informal lupa dipedulikan?
Menurutku, naiknya pamor tukang ojek online tak lepas dari promosi besar-besaran unicorn (Grab, Uber, Gojek) yang merekrut mereka. Itu mencerminkan cerita sukses sebuah promosi dan iklan (baca: propaganda).
Sebelum ada unicorn/decacorn, para tukang ojek pangkalan dipandang sebelah mata. Profesi ini cenderung dilecehkan, meski mempekerjakan banyak orang yang tidak cukup beruntung bisa bekerja di sektor formal.
Dulu tukang ojek dinilai dekil, jasa transportasinya dianggap tidak aman dan tidak nyaman. Unicorn/decacorn mengubah persepsi: tukang ojek online adalah profesi keren. Mereka punya seragam yang bikin gagah dan tidak nampak dekil; setia melayani, aman dan nyaman.
Tak hanya kelas menengah belakangan tidak segan naik ojek. Bahkan banyak dari mereka juga bergabung jadi tukang ojek online, untuk menambah pengasilan sampingan.
Persepsi yang berubah itu telah meningkatkan “demand” terhadap layanan ojek online. Pada saat yang sama memperluas potensi “supply”: pekerja kantoran dan sarjana pengangguran pun tak malu masuk ke sektor informal ini, yang tadinya hanya diisi oleh pengojek pangkalan.
Lonjakan kredit mobil/motor dalam beberapa tahun terakhir mencerminkan antusiasme besar orang untuk masuk ke sektor informal yang tadinya dianggap kumuh ini.
Persaingan makin ketat di sektor informal itu. Di banyak kota konflik terjadi antara ojek pangkalan yang sudah lebih dulu ada dengan ojek keren unicorn. Dan kita tahu, dalam banyak kasus, ojek unicorn lah yang menang.
Kehadiran ojek unicorn memberikan kesan semu tentang “penyerapan tenaga kerja”; citra semu yang dipromosikan tak kurang oleh Presiden Jokowi sejak awal kemunculnnya dan antara lain berjasa mengantar Nadiem Makarim duduk di kursi menteri pendidikan.
Tukang ojek online bukanlah karyawan unicorn. Mereka bekerja dengan sumberdaya sendiri: motor, tenaga, waktu dan kesehatan tubuhnya.
Tukang ojek online pada dasarnya mempekerjakan diri-sendiri. Mereka hanya bisa mendapat uang jika turun ke jalanan. Tapi, bagaimana jika mereka sakit?
Wabah corona membuka kenyataan pahit itu: unicorn/decacorn Grab dan Gojek, yang valuasi usahanya ratusan trilyun itu, tidak bertanggungjawab atas nasib “mitra” yang tidak bisa bekerja akibat sakit atau surutnya ekonomi akibat karantina.
Tukang ojek unicorn diberi citra formal dengan seragam keren, tapi mereka sejatinya tetap bekerja di sektor informal yang mengandalkan diri sendiri.
Mereka tidak beda dari pedagang kaki lima, tukang tambal ban, atau pedagang kopi keliling, meski perusahaan yang mereka hidupi punya valuasi ratusan trilyun rupiah.
Sebagian dari uang trilyunan rupiah dipakai untuk promosi mengubah persepsi tentang tukang ojek, tapi nasib mereka tidak pernah benar-benar berubah.
Kasihan, sih, mereka. Korban fatamorgana menjadi bagian keren usaha unicorn. Tapi, ada banyak pekerja lain sektor informal yang juga lebih kasihan. Tak layak untuk didiskriminasi.