Jumat, April 19, 2024

Mari Kembali ke Zaman Batu

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa

Di Amerika dan Eropa, orang kembali mempertanyakan apa yang disebut modern dan maju. Mempertanyakan dampak industrialisasi dan kemajuan ekonomi pada kehidupan sehari-hari, dari gaya hidup hingga pola makan.

Sebagian mereka kembali menengok masa silam. Salah satu yang kini populer: paleo-diet, pola makan yang kembali ke zaman batu (paleolithicum) ketika manusia masih hidup di gua-gua.

Manusia zaman dulu tidak mengenal industri pengolahan pangan. Mereka memakan makanan mentah, atau paling jauh membakar daging buruan di api unggun.

Beberapa kemasan makanan di Barat kini diberi label “paleo-friendly”. Mengikuti pola itu, paleo-diet punya prinsip sederhana: memakan makanan segar dari alam dengan sesedikit mungkin pengolahan, alias cenderung mentah.

Trend paleo-diet di Barat berbarengan dengan kesadaran orang untuk “back to nature”, kembali ke alam, dan kembali menghargai hal-hal tradisional, termasuk seni kuliner tradisional.

Paleo-diet tidak sekadar romantisme atau nostalgia. Makanan mentah diyakini lebih sehat. Beberapa jenis vitamin, mineral dan asam amino (protein) rusak ketika bahan makanan dipanaskan atau diblender.

Di Indonesia pada zaman yang belum terlalu kuno, kakek-nenek kita sebenarnya juga mempraktekkan pola makan paleo-diet. Mereka makan dari beragam sayuran dan buah langsung dari kebun pekarangan atau tanah pertanian.

Lahir dan besar di pedesaan Jawa, saya dulu menikmati bermacam buah dari kebun pekarangan kakek. Bersama teman mencari buah dan ubi liar dari sekeliling desa yang bisa langsung dimakan; memancing ikan di sungai, atau mencari belut di sawah. Berburu belalang dan jangkrik untuk dibakar.

Ayam dan bebek kampung yang dipelihara nenek menyediakan protein dari daging dan telur. Saya suka telur mentah. Di pagi yang dingin, saya membakar ubi atau jagung di perapian sambil menghangatkan diri. Anak desa seperti saya dulu juga makan tunas buang nangka (babal) cukup hanya dengan ditemani garam.

Menjelang Lebaran, nenek akan sibuk membuat aneka kue dan jajanan dari umbi-umbian, tepung beras, singkong dan jagung lokal. Prosesnya ringkas dan sederhana memanfaatkan perkakas dapur dan teknologi desa yang seadanya.

Sampai kini, sebenarnya kita masih bisa menemukan beberapa janis makanan “paleo-friendly”: kluban sawah (sayuran sawah) dan lalapan kebun yang dimakan mentah bersama sambal cabe segar. Kita juga mengenal rujak atau karedok, campuran buah dan sayur mentah dengan sedikit pengolahan.

Tapi, kini pekarangan dan lahan pertanian makin sempit untuk bisa ditanami bermacam sayur dan buah. Jikapun ada pekarangan, kebiasaan menanam aneka sayur dan buah di sekililing rumah juga kian jarang, bahkan di pedesaan. Jangkrik, belalang, dan ikan sungai juga makin punah akibat pencemaran tanah dan air, serta pemakaian luas pestisida, insektisida dan herbisida yang merusak.

Bahkan orang kampung kini mulai tergiur oleh makanan instan yang dijajakan swalayan modern yang merambah hingga pedalaman. Anak-anak desa terbiasa makan jajanan kemasan yang diimpor dari kota.

Proses produksi-konsumsi pangan yang dulu tersebar (terdesentralisasi) kini digantikan oleh produksi massal yang cenderung tersentral dan seragam. Bahan pangan dibawa dari desa menuju pabrik-pabrik besar di kota, dan kembali lagi ke desa dalam bentuk kemasan. Sebagian jenis makanan, seperti daging sapi dan gandum, bahkan harus kita impor dari luar negeri.

Rantai produksi, transportasi dan pemasaran pangan menjadi sangat panjang. Rantai yang panjang menuntut pemakaian bahan pengawet yang tidak selalu ramah kesehatan. Juga memerlukan kemasan, seringkali plastik, yang kini sampahnya menjadi problem bahkan di desa-desa.

Makanan instan dan bahan kimia pengawet menimbulkan problem kesehatan. Istri saya, seorang dokter di klinik desa, menandai makin banyak orang desa kini menderita penyakit degeneratif: hipertensi, jantung, dan diabetes. Dalam skala luas, ini potensial memicu bencana nasional.

Kini tinggal di desa setelah lama mukim di Jakarta, saya kembali menikmati hidup ala pedesaan. Kami menanam aneka buah dan sayur di kebun pekarangan: pisang, markisa, tebu, jahe, dan jeruk. Kami juga menanam buah yang sudah makin jarang, seperti ranti, ucen dan ciplukan.

Istri saya membuat gula tebu sendiri atau memanen stevia, daun pemanis, langsung dari kebun. Kadang dia berkeliling pekarangan untuk memetik sayur: daun singkong, kenikir, sawi, atau bayam, yang langsung kami makan mentah dengan sambal yang cabenya juga kami tanam sendiri. Kami punya kolam yang ikannya siap dipancing untuk dibakar.

Sesekali, saya mencari daun teh, mengeringkannya di bawah matahari untuk diseduh. Atau membeli biji kopi, mengeringkan, menyangrai dan menumbuknya untuk dinikmati selagi aromanya masih segar. Dari kerabat di desa, kami memesan nasi jagung yang nikmat disantap di atas lembaran daun pisang atau jati, dengan lauk ikan asin serta sayur oblok-oblok daun talas.

Sepenuhnya hidup kembali ke zaman batu mungkin mustahil. Tapi, kebutuhan paleo-diet makin besar bersama meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan kelestarian lingkungan alam.

Paleo-diet tak cuma menuntut perubahan pola makan. Tapi, juga perubahan pola bertani menuju praktek pertanian dan industri pengolahan pangan yang sehat. Pada akhirnya, paleo-diet menuntut perubahan pola produksi dan konsumsi, perubahan cara pikir kita tentang ekonomi dan pembangunan secara menyeluruh: renungan tentang apa yang disebut maju dan apa yang disebut primitif.

Paleo-diet tidak sekadar romantisme. Dia menuntut kita belajar dari masa lalu demi masa depan. Kita mungkin bisa belajar dari orang Jepang, masyarakat yang begitu maju industrinya tapi juga memiliki khasanah kuliner yang sehat dan eksotik. Mereka makan ikan mentah sushi dan sashimi!

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.