Presiden Joko Widodo menyelenggarakan upacara peringatan kemerdekaan di Istana Merdeka dengan cara berbeda. Presiden dan para pejabat tinggi mengenakan pakaian adat Indonesia, bukan jas Eropa seperti sebelum-sebelumnya.
Upaya menghargai dan memperkenalkan kembali pakaian tradisional Indonesia itu patut dipuji. Namun, semoga itu bisa dilakukan lebih sering, tak hanya dilakukan setahun sekali, dan bukan sekadar untuk keperluan seremoni.
Pakaian tradisional yang dikenakan presiden dan para undangan tempo hari sebenarnya hanya sedikit saja dari begitu banyak ragam fashion khas dan asli Indonesia. Negeri kita memiliki ratusan suku yang masing-masing memiliki ekspresi unik dalam soal busana.
Tak hanya busana. Suku-suku Indonesia memiliki ekspresi beragam bentuk seni yang masing-masing khas: tenun, anyaman, ukiran, musik, tembang, tari, dongeng, serta upacara/prosesi adat yang mencerminkan tradisi dan kepercayaan berbeda-beda.
Ekspresi seni tak sekadar produk “ekonomi kreatif”. Seni hakiki hidup di tengah masyarakat, terus-menerus diciptakan dan dikembangkan, menjadi bagian keseharian masyarakat. Batik hanya menjadi sekadar baju jika tak ada lagi yang membuatnya sepenuh jiwa.
Tapi, dari mana sebenarnya semua ekspresi seni yang beraneka-warna itu berakar? Apa upaya yang harus dilakukan jika kita ingin melestarikan, menghargai dan mengembangkannya?
Keragaman Seni, Keragaman Alam
Di pedalaman Kalimantan Barat dalam perjalanan keliling Indonesia beberapa tahun lalu, saya berkunjung ke Ensaid, kampung Suku Dayak. Saya menginap di rumah panjang mereka. Ini hanya satu saja desa adat yang saya kunjungi.
Malam hari di rumah panjang, saya ngobrol dengan tetua adat dan warga lain sambil minum tuak tradisional yang mereka buat sendiri.
Salah satu yang hadir, seorang perempuan tua, bersenandung menyanyi. Meski tak tahu bahasa asli mereka, saya merasakan pesan magis nyanyian itu. Tentang peri hidup di alam, di tengah hutan tropis Kalimantan.
Waktu berjalan lambat di sini. Tapi, bukan berarti warga di sini tidak sibuk dan tak punya imajinasi serta kreativitas.
Warga Suku Dayak ini hidup terutama dari berladang. Saya lihat mereka menggelar kenduri di ladang yang dipanen. Perempuan mereka memanfaatkan waktu senggang untuk menenun kain atau membuat kalung manik-manik. Para lelakinya membuat anyaman bambu dan rotan, serta totem dari kayu yang sebagian menghiasi tangga masuk rumah panjang mereka.
Itulah seni dan tradisi yang diilhami oleh alam sekeliling tempat mereka hidup.
Namun, alam semakin sempit dan tak ramah. Bencana kebakaran hutan sering mengancam. Tetua adat bercerita tentang desakan kuat kebun sawit. Perusahaan sawit menggoda mereka dengan uang. Kadang dengan teror, baik secara langsung maupun tidak, agar mereka ikut dalam euforia kebun sawit.
Desa-desa lain sudah menyerah, tapi Ensaid mencoba bertahan. “Entah sampai kapan kami bisa tahan,” kata tetua adat.
Saya membayangkan mereka seperti suku-suku Indian Amerika terakhir yang terseok-seok didesak investasi bisnis dan modernisasi kaum pendatang.
Pertanian modern seperti kebun sawit mendatangkan uang. Tapi, harus dibayar mahal dengan kerusakan alam dan menyempitnya ruang hidup suku-suku tradisional.
Seperti para leluhur suku Indian, sebagian tetua suku Dayak punya kekhawatiran sederhana: “Ketika sungai mengering, dan ikan-ikan hilang, kita baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan.”
Tak hanya bertahan hidup menjadi lebih sulit. Rusaknya alam mengancam seni dan tradisi mereka, seni tenun, anyaman dan ukiran, yang berakar pada alam.
Etalase Keragaman Alam Indonesia
Keragaman seni-budaya-tradisi Indonesia adalah cermin dari keragaman alam, flora-fauna, geomorfologi dan ekosistem Kepulauan Indonesia. Indonesia memiliki 52 taman nasional (national parks) yang merupakan etalase dan miniatur keragaman itu.
Taman-taman nasional kita mewakili beragam ekosistem, ruang hidup suku-suku yang hidup di dalamnya: dari gunung bersalju di Lorentz (Papua), hutan tropis sekitar Kerinci (Sumatra), ekosistem rawa dan gambut di Tanjung Puting (Kalimantan), padang savana Baluran (Jawa Timur) dan karang bawah laut Wakatobi.
Keragaman alam pada gilirannya memicu keragaman seni-budaya dan tradisi yang sangat kaya. Tanpa alam yang lestari tak ada seni; jikapun ada, itu sekadar produk “ekonomi kreatif”.
Belakangan ini banyak orang risau tentang lunturnya toleransi terhadap keragaman (kebhinekaan). Sebagian intoleransi muncul dari pemahaman sempit para penganut agama-agama besar. Tapi, kita tak boleh menyepelekan pula faktor lain: konsep pembangunan dan haluan ekonomi yang dipromosikan negara juga potensial bersifat anti-keragaman serta cenderung memaksakan penyeragaman.
Melestarikan Seni, Melestarikan Alam
Seperti suku-suku Dayak terdesak bisnis kebun sawit, para petani tradisional Kendeng di Jawa Tengah, misalnya, terancam oleh investasi pabrik semen yang merusak alam ruang hidup mereka.
Kerusakan alam mempersempit keragaman. Bahkan menghacurkan seni tradisi Indonesia yang dahsyat. Jika kita ingin seni dan tradisi itu lertari dalam keragamannya, tak bisa tidak kecuali kita melestarikan alam pula.
Jika pemerintahan benar-benar ingin melestarikan sen-budaya-tradisi Indonesia, Presiden Jokowi harus menghentikan model pembangunan ekonomi yang berakibat pada rusaknya alam, meski menghasilkan uang dan mendatangkan investor. Presiden perlu mempromosikan arah baru: memanfaatkan alam secara lestari (sustainable). ***