Rabu, April 24, 2024

Skater Girl: Film Keluarga yang Bisa Membuka Mata Pendidikan

Tri
Tri
Pengajar di Sanggar Merah Merdeka. Sedang buka warung kopi kecil-kecilan.

Sistem kasta di India masih berlaku hingga sekarang. Strata sosial ditentukan berdasarkan garis keturunan. Kasta Dalit adalah kasta terbawah di India. Mereka menggelandang dan tak mempunyai kedudukan sosial dan kekuatan hukum yang dianggap di India sebab darah yang mengalir di dalam tubuh mereka bukan darah biru.

Mereka juga tidak mendapat akses yang serupa dengan kasta atas, Brahmana misalnya, terhadap kesehatan dan pendidikan. Kasta teratas hidup berjarak dengan mereka. Orang-orang Dalit bagaikan manusia hina. Menyentuh mereka berarti najis; berbicara dengan mereka membawa sial; berinteraksi dengan mereka artinya melanggar norma dalam kasta.

Sistem kasta di India diperkuat dengan adanya budaya patriarki yang mengakar. Perempuan adalah makhluk yang paling menderita jika berada di kasta rendah. Mereka tidak boleh bekerja dan memperoleh pendidikan seperti halnya kaum pria. Apa yang mutlak diperbolehkan oleh norma dan kaum pria adalah mengurus urusan rumah tangga.

Pedesaan-pedesaan di India masih melanggengkan praktik-praktik yang menindas orang-orang dari kasta terendah. Film Skater Girl (2021) menyiratkan suatu kritik pada keadaan tersebut dengan solusi yang bisa dipraktikan oleh beberapa khalayak. Melalui seorang gadis bernama Prerna (Rachel Saanchita Gupta) dan mentalitasnya untuk bebas dari norma-norma yang membelenggu.

Antara Pendidikan Anak dan Sistem Kasta

Film berlatar belakang suatu desa kecil di India. Sistem kasta berlaku kasat mata: tidak tertulis namun menjadi norma sosial. Warga desa masih menganggap kasta sebagai hal yang tak boleh dilanggar. Ini berlaku bagi kasta tertinggi ataupun terendah. Masing-masing mematuhi dengan penuh rasa angkuh dan rendah diri. Anak-anak saling terpisah seturut darah yang mengalir di tubuhnya.

Prerna masih sangat gadis ketika ia saban hari membantu ibunya mengurusi urusan rumah tangga, seperti memasak dan mencuci. Ia bersekolah namun pupus. Harapannya hilang sebab kemiskinan membuatnya tidak bisa membeli buku dan seragam sekolah. Semua aktivitasnya sebagai anak gadis menjemukan—dan, ditambah pula oleh budaya patriarki yang membuatnya terjebak pada urusan domestik.

Di sekolah ia menjadi bahan cemooh guru dan temannya hanya karena seragam yang berbeda dan tidak mempunyai buku pelajaran. Gurunya malah membebani ia dengan hukuman mengepel lantai sekolah. Gurunya berasal dari kasta Brahmana sehingga perlakuan padanya mudah sekali berbeda.

Dari peristiwa itu, gurunya bertindak seolah bukan seorang guru. Dimana guru seharusnya mendengarkan apa permasalahan muridnya, justru menjadi hakim yang siap sedia memberi ganjaran. Ini yang barangkali pernah kita alami di sekolah.

Seorang guru diperlihatkan tidak bersimpati dengan permasalahan murid-muridnya. Padahal relasi dua arah antara guru dan murid adalah hal yang wajib agar tercipta suatu hubungan yang harmonis—terlebih dalam hal memahami dan mencari solusi atas permasalahan muridnya.

Kedatangan Jessica (Amrit Maghera) membawa perubahan kecil yang berdampak besar. Perjumpaannya dengan Prerna mengawali itu. Melihat Ankush (Shafin Patel) membawa skate board dari kayu membuatnya pangling. Ia lantas berinisiasi memperkenalkan skate board pada mereka dan teman-temanya yang lain.

Jessica membuktikan bahwa kemauan yang kuat dan anak-anak dapat memelopori perubahan sosial di masyarakat. Melalui sarana-sarana bermain yang di minati dan di gemari, anak-anak mengolah jiwa dan raganya dengan bebas, sehingga kelak kesadaran-kesadaran kritis mudah ditemui pada anak-anak demikian dalam wujud Prerna dan Ankush, misalnya.

Film Skater Girl (2021) mengkawinkan antara budaya kasta di India dan model pendidikan di pedesaan. Bagaimana rasanya menjadi anak-anak yang hidup dalam kasta rendahan dan belajar ilmu dalam sistem pendidikan yang konservatif menjadi ide besar.

Memang, adegan-adegan film tidak terlalu menonjolkan kondisi di atas. Akan tetapi untuk sekelas film keluarga, dialog yang tidak padat dan sederhana membuat plot demi plot juga syarat akan makna. Kritik yang di sampaikan seakan disesuaikan dengan kapasitas anak-anak agar mudah dipahami. Mungkin dengan mengeksplisitkan porporsi antara budaya kasta dan model pendidikan di dalamnya, film dapat lebih menampakan kompleksitas masalah tersebut.

Dialog antara Prerna dan Ibunya dapat menjadi contoh makna yang dalam. Di saat Ibunya menanyakan mengapa Prerna sangat menyukai skate board, Prerna menjawab dengan ekspres yang haru biru, ia menjawab: “Rasanya menyenangkan. Aku merasa bahwa ini tempatku. Ini hal yang aku bisa. Tak ada yang mengendalikanku dan tak ada aturan. Rasanya seperti meluncur di langit.”

Motivasi Jessica memberi skate board bagi anak-anak tidak hanya di dasari oleh rasa iba atas skate board Ankush, melainkan juga disebabkan oleh rasa empati pada Prerna. Prerna anak yang pasif dan tak punya cita-cita; tidak tahu berapa umurnya sendiri dan kelas berapa; tidak peduli pada dirinya dan masa depannya; tidak punya hak bagi tubuh dan jiwanya; yang dia pahami hanya sistem kasta dan kemiskinan.

Pendidikan di desa malah memperkeruh persoalan. Tapi Jessica membuat permainan menjadi sarana untuk menjernihkan fungsi pendidikan itu sendiri, yakni mencerdaskan dan membebaskan anak-anak. Meski tidak dalam kerangka pendidikan formal tetapi dalam voluntarisme yang dilakukannya tersirat pendidikan anak-anak yang sesungguhnya: “menampilkan sifat-sifat terbaik secara menyeluruh yang ada dalam kepribadian seorang anak atau manusia—yaitu tubuh, akal, dan Jiwa, ” kata Ghandhi, seorang revolusioner di India.

Setali tiga uang, skate board yang dipermainkan oleh anak-anak sekaligus menjadi alat pembebas perempuan dari belenggu domestikfikasi dalam sistem kasta dan budaya patriaki yang dipersonifikasikan dalam diri Prerna. Ia menolak di jodohkan dan memilih skate board.

Gandhi sendiri mengatakan sejatinya wanita adalah mitra pria yang dianugerahi kemampuan mental yang sederajad. Wanita berhak untuk berperan serta sampai pada hal-hal kecil dalam kegiatan kaum pria, dan sama-sama berhak atas kebebasan dan kemerdekaan. Wanita berhak atas kedudukan tertinggi dalam bidang kegiatan wanita, seperti pula seorang pria berhak atas kedudukan tinggi dalam bidang kegiatan pria. (Ghandhi: Semua Manusia Bersaudara, hal: 190)

Film ini adalah Prerna (inspirasi) bagi semesta pendidikan. Pendidikan sapatutnya dapat menyatu dalam kehidupan anak-anak itu sendiri; memahami pelbagai persoalan anak-anak sebagai individu; membantunya mengembangkan minat dan bakat mereka dengan menjadi karib yang akrab tanpa suatu paksaan, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang tidak bahagia hanya karena miskin atau terkekang oleh keadaan.

Tri
Tri
Pengajar di Sanggar Merah Merdeka. Sedang buka warung kopi kecil-kecilan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.