Nilai-nilai kebersahajaan sangat penting untuk terus didengungkan, di tengah kecenderungan sebagian masyarakat yang bersikap berlebihan atau ekstrim dalam menyikapi suatu hal.
Saat ini, ekstrimisme muncul dalam berbagai bidang, seperti spiritualisme yang ekstrim, materialisme yang ekstrim, kapitalisme, rasisme, terorisme, dan radikalisme. Bersahaja adalah salah satu sikap hidup yang bisa menjadi pilihan diantara banyak kecenderungan sikap berlebih-lebihan baik dalam persoalan agama, politik, ekonomi, maupun persoalan sehari-hari.
Nilai-nilai kebersahajaan ini disajikan dengan sangat apik disertai dengan contoh sikap-sikap dan pemikiran-pemikiran bersahaja dari para tokoh Muhammadiyah dalam buku berjudul “Muhammadiyah dan Orang-Orang yang Bersahaja: Sketsa-sketsa Etnografis dari Beirut”.
Buku ini ditulis oleh Duta Besar RI untuk Libanon yaitu Hajriyanto Y. Thohari dan diterbitkan oleh penerbit Suara Muhammadiyah pada bulan April 2021, fresh from the oven! Buku ini diberi pengantar yang sangat komprehensif oleh ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nasir. Buku yang terdiri dari 346 halaman ini merupakan kumpulan dari 45 catatan etnografis yang dibagi kedalam lima bagian.
Bagian satu diberi judul: Kiprah Orang Muhammadiyah; Kedua: Yang Bersahaja Yang Sederhana; Ketiga: Pikiran-pikiran Bersahaja tentang Muhammadiyah; Keempat: Bersahaja dalam Politik; dan Kelima: Muhammadiyah yang Bersahaja dan Dua Golongan Besar yang Hebat.
Makna Bersahaja
Judul dengan pilihan kata “Muhammadiyah” dan “bersahaja” ini bukan hanya sekedar judul tetapi merupakan dua kata kunci yang saling mengikat satu sama lain yang akan mengalirkan pesan yang sangat kuat dari penulisnya kepada kita, sebagai pembaca buku ini. Dalam pandangan penulis, orang-orang Muhammadiyah itu bersahaja, organisasinya bersahaja, dan pemikiran keagamaannya juga bersahaja. Lebih lanjut dijelaskan oleh penulis “Pemahaman agama orang Muhammadiyah itu sangat lugas (straight forward). Keberislaman orang Muhammadiyah itu tidak bertele-tele, tidak njelimet, dan tidak berwarna-warni. Melainkan sebaliknya, lugas dan bersahaja” (hal. xi).
Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa:”kebersahajaan doctrinal tersebut ternyata parallel dengan kehidupan sehari-hari orang Muhammadiyah, bersahaja dalam berpikir, bersahaja dalam bersikap, dan bersahaja dalam bertindak. Bahkan, termasuk bersahaja dalam melihat dunia politik” (hal. xi). Kebersahajaan secara sangat jelas dikaitkan dan diartikan oleh penulis dengan kesederhanaan.
Buku ini memotret kebersahajaan/kesederhanaan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam keseharian mereka. Bukan hanya bersahaja dalam memilih gaya hidupnya, tetapi juga bersahaja dalam mengatur, menjalankan, dan mengembangkan roda organisasi modernis terbesar di negri ini. Contoh-contoh kebersahajaan dari para tokoh ini, akan terasa sangat riil dan terasa kongkrit sampai ke pembaca, kendati pembaca belum pernah bertemu dan berinteraksi secara langsung dengan para tokoh. Inilah yang menjadi kekuatan gaya tulisan pak Hajri ‘write like you speak’, tulisannya mengalir layaknya pembaca sedang mendengarkan beliau bercerita.
Kekuatan dari buku ini juga terlihat karena kata bersahaja tidak muncul begitu saja dari ruang kosong, tetapi dari pergumulan dan pengalaman langsung penulisnya berinteraksi dengan berbagai elemen di Muhammadiyah selama puluhan tahun, dari tingkat lokal sampai pusat. Inilah yang menjadi spirit dari kajian etnografis. Dalam literatur mengenai etnografi disebutkan “it is distinguished by involving (long term) relations with other people and in real-life situations.”. Pak Hajri sebagai pembuat catatan-catatan etnografis dalam buku ini, tidak hanya “observe people in the settings in which they live, tetapi juga participate in their day-to-day activities (ordinary activities)”.
Pak Hajri, sebagai Muhammadiyah tulen dan insider, tidak lantas hanya berbicara mengenai prestasi-prestasi Muhammadiyah tetapi juga mencatat beberapa kritik, tentu kritik untuk membangun (an-naqdu lil-bina) Muhammadiyah. Contohnya catatan kritis pak Hajri mengenai sikap sebagian warga Muhammadiyah terhadap politik atau terhadap politisi (hal.210), pentingnya Muhammadiyah aktif membangun mesjid-mesjid di berbagai tempat untuk meneguhkan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan (hal. 155).
Selain pemaknaan bersahaja dari penulis, didalam buku ini juga ada penjelasan makna bersahaja dari Pak Haedar dan juga dari buya Yunahar. Menurut pak Haedar: “Bersahaja adalah prinsip hidup sederhana, apa adanya, dan tidak berlebihan. Kesederhanaanya diwujudkan dengan berfikiran maju, tidak pinggiran, dan gemar beramal kebaikan demi kemajuan bersama. Kesederhanaan tidak identic dengan keterbatasan fasilitas dan standar hidup secara ekonomi, tetapi menampilkan pola hidup yang tengahan dan tidak berlebihan” (hal.xiii).
Ada pun tengahan menurut almarhum Buya Yunahar adalah wasathiyah.Tetapi tengahan yang laksana ihdinas shirotol mustaqim, tidak menyeleweng ke kanan, tidak juga menyimpang ke kiri, tidak liberal dan tidak radikal, tidak ekstrim (serba dilarang) dan tidak serba boleh atau permisif (wibahiyah). Wasathiyah juga tidak menganggap pendapatnya sendiri yang benar” (h. 129).
Bersahaja sebagai sikap hidup Muhammadiyah
Para tokoh Muhammadiyah ini memiliki sikap hidup bersahaja, paling tidak karena dua hal, pertama: karena teologi al-Maun, kedua: karena pandangan wasathiyyah berkemajuan. Teologi Al-Maun (QS al-Ma’un: 1-7) yang mengajarkan ummat Islam untuk menyayangi yatim dan membantu dhuafa, telah membentuk tokoh-tokoh Muhammadiyah ini menjadi pribadi-pribadi yang pemurah, dermawan dan suka menolong pada sesama (hal. 169).
Banyaknya rezeki yang diperoleh para tokoh Muhammadiyah disikapi secara wajar, tidak berlebih-lebihan dan bukan untuk bermewah-mewahan. Rezeki yang didapat diperuntukkan untuk keperluan yang seharusnya/secukupnya saja dengan tetap berpegang teguh mempraktekan “alyadul ‘ulya khoirum minal yadis suflaa (tangan diatas/orang yang memberi bantuan lebih baik dari tangan dibawah/orang yang menerima bantuan)”. Maka, Muhammadiyah sejak awal kelahirannya sampai saat ini sangat identic sebagai gerakan amal par excellence, yang sangat meperhatikan kerja-kerja amal, kerja-kerja kemanuasiaan atau filantropi (hal. 168).
Selain ideologi al-Maun, para tokoh Muhammadiyah meyakini bahwa sikap hidup yang bersahaja/tidak berlebihan adalah ajaran wasathiyyah yang merupakan nilai Islam yang harus dipraktekkan dalam keseharian. Nilai Islam dalam QS Al-Baqarah: 143, QS Al-Qolam, 28, Hadits Nabi dan kisah dari para sahabat Nabi difahami dan diyakini oleh para tokoh Muhammadiyah yang bersahaja ini sebagai ajakan agar ummat Islam menjadi umat tengahan (wasathan) dan tidak berlebihan (tathorruf, alghuluww, tasyaddud). Keyakinan itu melahirkan sikap-sikap bersahaja yang sudah melekat menjadi sikap hidup sehari-hari mereka.
Wasathiyyah dalam arti tasamuh/samahah, raf’ul haraj, taysir, al-adalah, dan at-tawazun sudah dipraktekkan oleh para tokoh Muhammadiyah dan menjadi sikap organisasi, seperti lebih cenderung memudahkan urusan orang lain (taysir) dan menghilangkan kesulitannya (raf’ul haraj),berlaku adil (adalah/tawazun) dan toleran terhadap perbedaan pendapat/sikap (samahah).
Sebaliknya, sikap berlebihan adalah sikap yang dihindari oleh para tokoh Muhammadiyah dan tidak menjadi pilihan sikap organisasi. Baik berlebihan dalam urusan akidah (at-tathorruf al’I’tiqody), urusan politik (at-tathorruf as-siyaasy), urusan organisasi (at-tathorruf al-haraky) dan sikap berlebihan lainnya seperti dalam urusan sehari-hari (at-tathorruf al-‘amaly/al yaumy).
Sebagai contoh pandangan berlebihan dalam persoalan akidah (at-tathorruf al’I’tiqody/ideological extremism) yang pernah muncul dalam sejarah awal Islam adalah munculnya Qadariyah, Jahmiyyah, Murji’ah, dan Batiniyah/Syiah isma’iliyah. Adapun contoh sikap berlebihan dalam politik (at-tathorruf as-siyaasy/political extremism) adalah munculnya golongan khowarij yang memboikot kekuasaan Ali bin Abi Thalib, sampai muncul pemikiran yang membolehkan membunuh sesama Muslim selain pengikut khowarij.
Gerakan Muhammadiyah menjadi gerakan dakwah yang moderat, yang bisa menjadi alternatif diantara gerakan-gerakan yang sangat liberal atau sangat radikal; sangat keBarat-an atau sangat ke Arab-Araban; atau sangat ekstrim jihadnya (kelompok jihadist), sangat ekstrim purifikasinya (purist), atau sangat ekstrim politiknya (politico).
Sejak berdirinya Muhammadiyah memiliki track record pengalaman organisasi yang cukup mapan dan adaptif dalam berbagai perubahan sosial karena memiliki para tokoh dengan kapasitas integritas yang sangat baik. Hal ini merupakan sumbangsih nyata bagi masyarakat dan negara dalam bingkai ideologi al-Maun dan wasathiyyah berkemajuan.
Selamat menikmati buku mengenai orang-orang bersahaja dari seorang penulis yang sangat bersahaja!