Jacques Ranciere adalah seorang pemikir filsafat dari Prancis kelahiran Aljazair. Ia merupakan seorang pemikir kontemporer kelahiran 1940, yang saat ini menjadi profesor emeritus filsafat dari Universitas Paris VIII (St.Denis). Rancire merupakan seorang pemikir yang konsisten dengan gagasannya mengenai kesetaraan pada setiap orang dengan semua orang, yaitu meletakkan kesetaraan akal budi sebagai pengandaian (praanggapan) dalam memandang hubungan antarmanusia.
Ranciere merupakan pemikir yang produktif, ia banyak menghasilkan karya, seperti The Nights of Labour: The Workers’ Dream in Nineteenth-Century France (1991), Dissensus: on Politics and Aesthetics (2010), The Politics of Literature (2011), dan masih banyak lagi. Tidak mengherankan, pemikiran Ranciere diperbincangkan secara luas dan menempatkan Ranciere sebagai salah satu pemikir yang diperhitungkan dalam khazanah filsafat (politik, pendidikan, seni) kontemporer. Meski demikian, memahami pemikiran Ranciere tentu bukan hal mudah dan penuh dengan kerumitan.
Sebab itu, kita perlu mengapresiasi buku Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere yang ditulis oleh Sri Indiyastutik yang semula merupakan tesis magisternya di STF Driyarkara. Studi yang dilakukan oleh Indiyastutik tersebut tentu memerlukan ketekunan luar biasa. Selain dapat menjelaskan pemikiran Ranciere secara sistematis, Indiyastutik pun mampu menghadirkan pemikiran Ranciere nampak segar dan aktual atas permasalahan politik kontemporer, termasuk menyoal kelesuan demokrasi di Indonesia.
Menurut Indiyastutik, titik berangkat pemikiran Ranciere bisa dimulai dari pengertian mengenai the wrong dan kesetaraan. The wrong sendiri, yang diartikan sebagai “yang salah”, merupakan bagian dari tatanan sosial, tetapi dianggap tidak ada dalam tatanan (hlm.10). Akan tetapi, yang perlu segera ditegaskan, istilah the wrong yang dimaksudkan di sini, bukan mengacu pada pengertian moral, dan bukan mengacu pada kelompok komunal tertentu.
Ranciere sendiri memandang the wrong ini memiliki tempat dan kedudukan yang setara dengan orang-orang lain di dalam tatanan sosial. Mereka adalah bagian dari tatanan. Namun, cara pandang manusia terhadap kehidupan bersama adalah menata dan membagi-bagi di mana selalu ada bagian yang tidak terhitung. Ranciere memaknai pembagi-bagian dalam tatanan masyarakat yang berdasarkan persepsi inderawi ini sebagai tatanan atas dasar arkhe (hlm.12-13).
Adapun kehidupan masyarakat yang ditata dan berjalan berdasarkan prinsip tersebut, oleh Ranciere disebut tatanan sosial (police). Ranciere menegaskan bahwa kita hidup dalam tatanan sosial, kita hidup dalam tatanan oligarki (hlm.13). Dengan demikian, standpoint pemikiran Ranciere, yaitu kritiknya atas segala bentuk arkhe. Tantu saja hal ini berkaitan dengan ide kesetaraan yang menjadi titik berangkat pemikiran Ranciere.
Singkat kata, dalam sebuah tatanan sosial, selalu ada bagian yang tidak terhitung, yaitu mereka yang tidak dianggap dalam tatanan, karena tatanan sosial yang berdasarkan arkhe tersebut terdapat pembagian masyarakat, baik itu berdasarkan fungsi, kekayaan, keturunan, hierarki dan lain-lain. Bisa dibilang, pemikiran Ranciere berupaya membongkar tatanan sosial tersebut.
Dalam konteks kehidupan di Indonesia misalnya, kita tidak bisa memungkiri bahwa selalu ada orang-orang yang tidak dianggap, tidak terhitung, tercecer dan sebagainya dalam tatanan sosial (police). Mereka inilah yang disebut sebagai the wrong. Di sinilah, pentingnya “tindakan politik” agar the wrong ini dapat dihitung dalam tatanan dan tidak lagi menjadi entitas yang tercecer. Ranciere sendiri selanjutnya menyebut the wrong ini sebagai demos.
Demos dan Tindakan Politik
Hal yang menarik, bila dalam kajian ilmu politik secara umumnya, kata politik selalu berkaitan dengan kekuasaan, partai politik, institusi parlemen dan sebagainya, maka hal itu tidak berlaku bagi Ranciere. Dalam pengertian Ranciere, politik itu terjadi hanya jika ada gangguan terhadap tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan. Selain mengandaikan kesetaraan, tindakan demos tersebut bertitik tolak pada kesetaraan dalam setiap orang dan semua orang (hlm.17).
Dengan demikian, gangguan demos berupaya untuk mentransformasi tatanan sosial menjadi tatanan baru, dan dalam perubahan tatanan tersebut, demos selanjutnya diidentifikasi sebagai subjek politik yang menjadi suplemen pada bagian-bagian masyarakat. Mereka yang semula tidak dihitung dalam tatanan masyarakat, menjadi dihitung dan diakui keberadaannya. Inilah inti dari apa yang disebut sebagai “tindakan politik” (politik demokrasi) oleh Ranciere dan disebut sebagai subjektivasi.
Jika diringkas, politik terjadi melalui tahapan berikut: pertama, emansipasi terjadi pada individu-individu; kedua, individu-individu memiliki kehendak untuk bergerak bersama-sama mengganggu harmoni tatanan sosial dominan untuk memverifikasi kesetaraan yang melampaui perjuangan atas identitas tertentu; ketiga, tatanan sosial dominan berubah karena subjektivasi demos berhasil menjadikan diri mereka sebagai bagian dari tatanan sosial tersebut (hlm.18).
Aktualitas Gagasan Ranciere
Mengingat dalam suatu police (tatanan) selalu ada pihak yang tidak terhitung, tidak terakomodasi, tercecer dan semacamnya. Maka apa yang disebut sebagai demokrasi dalam pandangan Ranciere pun bukanlah suatu politik konsensus (kesepakatan) sebagaimana yang dipahami dalam ilmu politik secara umumnya. Ranciere memandang bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi yaitu politik disensus (ketidaksepakatan).
Politik disensus dalam demokrasi ini, karena yang diandaikan adalah adanya gangguan (dari pihak yang tidak terhitung (demos) dalam tatanan) terhadap tatanan dominan untuk memverifikasi kesetaraan agar mereka dapat menjadi bagian dari tatanan dengan tetap mengandaikan logika kesetaraan. Artinya, politik demokrasi semestinya dipahamai sebagai suatu perselisahan, karena pihak yang tidak terhitung dalam tatanan tersebut selalu berupaya mengganggu tatanan dominan.
Dalam pembacaan saya, pemikiran Ranciere didasarkan atas pembacaannya yang jujur terhadap realitas yang ada, bahwa kita memang hidup di dalam suatu tatanan yang berdasarkan arkhe, yang memungkinkan kuatnya cengkraman oligarki. Inilah realitas kehidupan demokrasi. Akan tetapi, Ranciere pun mengajak kita untuk menyadari, bahwa rezim demokrasi pun memungkinkan bagi kita untuk terus melakukan gangguan terhadap tatanan (oligarki) tersebut, karena itulah inti dari pemaknaan politik dalam perspektif Ranciere.
Sumbangan pemikiran Ranciere dapat menjadi vitamin di tengah kelesuan realitas demokrasi di Indonesia akibat kuatnya oligarki, pun juga, dapat menjadi tawaran yang berharga untuk mengatasi politik identitas yang dikhawatirkan dapat menghasilkan suatu turbulensi politik. Mengingat, tindakan politik dalam pemahaman Ranciere, yaitu tindakan untuk memverifikasi kesetaraan dan melampaui identitas-identitas komunal tertentu.
Identitas Buku
Judul: Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere
Penulis: Sri Indiyastutik
Tahun: 2019
Penerbit: Buku Kompas
ISBN: 978-602-412-700-8
Jml hlm: xx + 236