Zenius, sebuah perusahaan Edtech berbentuk platform belajar online untuk pelajar SD-SMA, baru saja menggelar forum bersama awak media pada hari Kamis (19/7) di Jakarta Pusat.
Di dalam forum tersebut, Wisnu Subekti selaku CEO dan Sabda PS selaku Founder berbagi pandangan mereka mengenai pendidikan di Indonesia dan bagaimana Zenius hadir sebagai solusi atas beberapa persoalan fundamental.
Metode Belajar dan Literasi
Wisnu membuka pemaparannya dengan menceritakan latar belakang berdirinya Zenius. Pada waktu awal Zenius didirikan (2007), bimbingan belajar (bimbel) sedang marak-maraknya. Kebanyakan dari mereka sibuk mencekoki anak dengan rumus kilat, terutama untuk menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN).
“Kita melihat, ada cara yang lebih baik untuk belajar,” ujar Wisnu.
Ia menjelaskan bahwa rumus kilat semacam itu tidak membuat anak betul-betul memahami ilmu yang ia pelajari, melainkan hanya masuk ke dalam memori sebagai hafalan tanpa makna. Di sinilah Zenius melawan arus utama dan muncul dengan prinsip “memahami konsep”.
Anak dituntun untuk memahami sebuah materi sampai ke akarnya. Ketika anak mengerti konsep, mereka akan ingat dengan sendirinya, karena materi menjadi sebuah rangkaian cerita yang menjelaskan cara kehidupan bekerja secara runut, bukan ujuk-ujuk keluar rumus yang tak jelas asal-muasalnya.
Cara belajar yang salah—instan, sekadar menghafal—juga berkontribusi signifikan pada jeblok-nya skor anak Indonesia dalam uji literasi berstandar internasional, yakni PISA. Tes tersebut menguji literasi matematika, literasi sains, dan kemampuan membaca (reading comprehension).
Hasil tes tahun 2012 menunjukkan hanya 24% anak Indonesia yang mencapai level 2 literasi matematika dalam skala 1-6. Sebagai perbandingan, persentase ini lebih rendah dari Malaysia (48%) dan jauh di bawah Vietnam (86%).
“Literasi membutuhkan pemahaman, bukan sekadar hafalan. Kalau kita mau memperbaiki ini, tidak bisa gonta-ganti kurikulum saja, tapi dari segi cara mengajar dan paradigma pengajar juga harus diubah,” ujar Wisnu menutup pemaparannya.
Pendidikan dan Demokrasi
Selanjutnya, giliran Sabda PS yang menyajikan pemaparan. Ia menambahkan penjelasan Wisnu mengenai latar belakang berdirinya Zenius.
“Tahun 2007 itu kan tahun resmi berdirinya Zenius. Tapi, idenya sendiri sudah jauh lebih awal dari itu, kira-kira tahun 2002. Pada saat itu, Indonesia baru saja demokratisasi. Kita punya kekhawatiran, apakah literasi masyarakat kita cukup untuk berdemokrasi,” ujar Sabda.
Sistem demokrasi membuat segala keputusan publik dilakukan secara bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Literasi publik yang buruk akan menghasilkan keputusan publik yang buruk pula. Hal ini menjelaskan mengapa kehadiran metode belajar yang membangun pemahaman dan kekritisan berpikir ala Zenius menjadi penting.
Diskursus publik dalam demokrasi berlangsung sebagian besarnya dalam bentuk tulisan, antara lain di media sosial dan situs berita online. Maka, orang perlu kemampuan membaca yang baik untuk dapat berdemokrasi dengan baik.
“Teman-teman wartawan di sini sering gak bikin berita apa tapi komentar orang-orang malah ngawur dan totally gak nyambung?” tanya Sabda disambut gelak tawa peserta forum.
Ternyata, kemampuan membaca masyarakat Indonesia memang bisa dikatakan parah sekali. Dalam laporan uji literasi dewasa berstandar internasional, yakni PIAAC, 70% orang Jakarta usia 15-26 tahun tidak mencapai level 1 kemampuan membaca dalam skala 1-5. Padahal, kemampuan yang diuji di level 1 itu hanya memahami makna harfiah sebuah kalimat.
“Kalau seperti ini ya gak heran masyarakat kita gampang kena hoaks atau berita yang headline dengan isinya gak ada hubungannya,” ujar Sabda.
Zenius didirikan dengan semangat mengembangkan metode belajar yang dapat membangun literasi dasar (matematika, sains, kemampuan membaca, dan logika) yang baik, bukan sebatas dapat nilai UN tinggi atau lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Selanjutnya, Sabda mengkritisi paradigma pengambil kebijakan yang fokus pada akses. Ia menjelaskan, pendidikan yang hanya fokus pada akses bisa menjadi bumerang jika isi pendidikannya menyesatkan—entah itu sesat sains, sesat logika, dan berbagai bentuk kesesatan lainnya.
“Akses, akses, akses. Kalo pendidikan ngaco malah jadi sama saja menyebar racun! Yang saya mau katakan di sini, akses penting, tapi konten jauh lebih penting,” ujar Sabda.
Ke depannya, sebagai market leader dengan 10,8 juta unique visitor sepanjang tahun 2017 dan peringkat 1 industri Edtech Indonesia dalam startupranking.com, Zenius bertekad menjangkau 60 juta anak Indonesia dengan cara belajar baru yang menyenangkan, bikin ketagihan, sekaligus membekali mereka dengan literasi yang mapan.
Harapannya, pemerintah juga mau mendukung dan bersinergi dengan Zenius, untuk demokrasi yang sehat dan menghasilkan keputusan publik berkualitas.