Masyarakat adat Baduy. it.avatar-nusantara.com
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Abdon Nababan menilai kebijakan pemerintah terkait kawasan konservasi cenderung menempatkan masyarakat adat sebagai “calon kriminal”. Menurut Abdon, semua pengurus di Balai Taman Nasional di mata masyarakat adat tak lebih dianggap sekadar polisi patroli, bukan manajer yang mengatur tata kelola lahan konservasi.
Masyarakat adat kerap menjadi kambing hitam atas sejumlah kasus kebakaran hutan dan perambahan lahan. “Banyak masyarakat adat yang masuk bui dan kemudian dilepaskan saat proses hukum belum tuntas dan jelas,” kata Abdon dalam diskusi bertajuk “Mengefektifkan Peran Masyarakat dalam Konservasi Indonesia ke Depan, di Jakarta (14/1).
Lebih lanjut ia menyatakan, jika istilah “peran serta” masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah konsep yang kurang tepat. “Dalam konteks pengelolaan konservasi, tidak relevan yang namanya ‘peran serta’. Sebab, masyarakat termasuk pengelola kawasan tersebut. Status menjadi tidak penting. Yang saya bayangkan satu kawasan konservasi memiliki banyak unit manajemen,” ujar Abdon.
Terkait pengelolaan kawasan konservasi, salah satu poin regulasi yang dipermasalahkan AMAN adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. 62 Tahun 2013. Permen tersebut mengingkari status masyarakat adat sebagai subjek hukum dan menciptakan situasi tumpang tindih antara kawasan hutan adat dan hutan konservasi.
Praktik kebijakan semacam itu seringkali membuat rakyat menjadi korban dalam penunjukkan atau penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi (Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Taman Nasional).
Saat ini setidaknya ada enam komunitas adat di Jambi, Kalimantan Barat, Banten, dan Sulawesi Tengah yang mengklaim wilayah adatnya berada dalam kawasan konservasi. Hingga kini mereka terus memperjuangkan keberadaan mereka dan hutan adatnya dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit Baka Bukit Raya, Lore Lindu, Gunung Halimun Salak, dan Cagar Alam Morowali.
Di beberapa lokasi, masyarakat adat yang tidak mampu bertahan akhirnya terusir karena status tumpang tindih tersebut. “Dari 1.128 komunitas adat yang ada (di Indonesia), sebagian besar mereka belum memperoleh hak-hak komunalnya,” ujar Presiden Indegeneous People’s Community Conserved Area and Territories (ICCA) Taghi Farvar seperti diwartakan laman Mongabay (25/8/2015).
Selain memberangus hak-hak masyarakat adat, kawasan konservasi dalam pengelolaan tunggal (pemerintah) justru menimbulkan persoalan serius karena menjadi sangat terbuka untuk kemudian dieksploitasi para mafia. “Faktanya, 133 juta hektare kawasan hutan yang kita miliki menjadi kawasan terbuka (open access) ketika ditangani negara,” kata Abdon.