Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan tindak pidana korupsi dan pencucian uang masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional. Namun, berbagai kalangan menolak usulan tersebut karena tidak sesuai dengan tujuan UU Perpajakan.
“Tidak masuk akal itu, pengampunan pajak bagi koruptor. Itu hanya akal-akalan mereka (DPR) saja,” kata Syamsuddin Haris, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta, Jumat (10/9). “Kalau pengampunan pajak masih bisa.”
Menurut Syamsuddin, para koruptor tidak bisa mendapatkan pengampunan nasional karena mereka melakukan kejahatan luar biasa atau extraordinary crimes. Karena itu, pembuatan UU tersebut harus lebih spesifik sehingga potensi penyalagunaan oleh DPR bisa diminimalisasi.
“Kalau pakai UU itu, maka koruptor semakin banyak di Indonesia. Orang yang sudah ditangkap bahkan bisa bebas. Jadi, Presiden Jokowi harus menolak usulan itu,” tegas Syamsuddin.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo mengatakan, tax amnesty pada umumnya menawarkan insentif berupa pengampunan pidana pajak, bukan pidana selain pajak. Pasalnya pidana inilah yang terkait dengan UU Perpajakan dan tindak pidana (delik) yang melekat pada aset pengampunan.
“Perluasan pengampunan yang mencakup pidana korupsi tidak dapat diterima karena alasan moral, legal dan politik,” tegas Prastowo. Bahkan Scudo Fiscale (Italia) pun hanya memberikan pengampunan pidana pajak dan perlindungan kerahasian.
Secara moral, tambah Prastowo, korupsi merupakan tindak kejahatan luar biasa yang menyebabkan kerusakan bangsa termasuk rusaknya sistem perpajakan. Pengampunan pidana korupsi justru menjadi preseden buruk atau insentif bagi perilaku koruptif di masa mendatang. Kemudian, secara legal, pengampunan pidana korupsi membutuhkan payung hukum yang luas dan hampir mustahil diwujudkan karena kompleksitasnya.
“Sisi politik, rezim Jokowi akan tercatat dalam sejarah bagsa sebagai rezim yang memberikan impunitas terhadap koruptor dan meletakkan dasar yang buruk bagi good governance,” kata Prastowo. Menurutnya, solusi saat ini adalah pengampunan terbatas pidana pajak dan digunakan Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan untuk melindungi wajib pajak atas penyalahgunaan data perpajakan.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto. Dia mengatakan tax amnesty itu untuk memperjuangkan rakyat atau elite? Kalau untuk rakyat, DPR harus memperjuangkan melalui regulasi yang pro rakyat. “Kalau untuk korupsi itu berbahaya,” kata Yenny.
Menurutnya, tax amnesty belum bisa diterapkan di Indonesia karena masih banyak kelemahannya, seperti akses keterbukaan informasi yang belum ada dan sistem administrasi pajak yang masih buruk. Seharusnya pemerintah memperbaiki pondasi dasar terlebih dahulu sehingga bisa optimal dalam menerapkannya.
“Jika tax amnesty diterapkan, maka tidak akan optimal seperti kasus tax amnesty 1998 dan 2008. Kita sudah buat sistem ini tapi wajib pajak tidak merespons, sebab tidak didukung dengan sistem perpajakan yang baik,” kata Yenny. Dia menambahkan, kalau pemerintah ngotot menggunakan kebijakan itu maka pemerintah akan gagal. Bahkan dalam jangka waktu 5-10 tahun belum tentu berhasil.
Selain itu, katanya, kebijakan pengampunan nasional banyak menguntungkan elite-elite pejabat dan partai politik. Sebab, mereka akan berlindung dalam kebijakan tax amnesty, seperti pengampunan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Kekhawatiran kita saat ini adalah DPR dan pemerintah menggunakan alasan klasik bahwa tax amnesty akan memberikan optimalisasi penerimaan negara.
“Alasan itu tidak ada jaminannya,” tegas Yenny. Bahkan kebijakan itu dapat mengurangi tingkat penerimaan negara sehingga berimplikasi terhadap ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kalau ruang fiskal sempit dan defisitnya tinggi, maka pemerintah akan melakukan utang luar negeri. Jadi, pemerintah harus merenungkan kebijakan dulu yang pernah dibuat Direktorat Jenderal Perpajakan.
Yenny mengaku heran melihat pemerintah dan DPR yang ngotot menggunakan tax amnesty. Menurutnya, ada alternatif lain dalam meningkatkan pajak seperti penghapusan sanksi administrasi pajak terutang (sunset policy) dan tax holiday. “Dua kebijakan itu dulu yang harus diperkuat. Bukan tax amnesty, apalagi kebijakan tax amnesty mendapat pertentangan dari berbagai lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Yenny menyoroti kewenangan Direktorat Jenderal Pajak yang begitu besar. Mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif mereka yang mengusulkan soal perpajakan, karena itu perlu pemangkasan kewenangan. “Kalau soal tindak pidana dan pencucian uang itu bukan ranah Direktorat. Kalau tetap di mereka, maka selesainya di meja Direktorat Jenderal Pajak. Akhirnya terjadi transaksional, contoh kasus Gayus Tambunan,” kata Yenny.[*]