Keluarga korban bom Bali. Foto ANTARA
Institute Criminal Justice Reform menilai pemenuhan hak-hak korban dalam revisi Undang-Undang Terorisme masih jauh dari harapan. Pasalnya, revisi tersebut murni kebutuhan institusi negara melawan terorisme tanpa memikirkan para korbannya.
“Naskah RUU justru tidak memasukkan rehabilitasi komprehensif bagi korban. RUU justru memberikan rehabilitasi komprehensif bagi para pelaku. Ini sungguh tidak fair,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono di Jakarta, Selasa (23/2).
Pada kasus bom JW Marriott, misalnya, penanganan korban terorisme yang bersifat gawat darurat ditanggung oleh pemerintah. Namun, pasca bom, biaya rehabilitasi dan psikis bagi korban belum tertangani dengan baik. Demikian pula dengan ganti rugi bagi korban terorisme.
“Pemerintah hanya memberikan bantuan medis di awal kejadian dan pemberian santunan yang belum merata. Tapi setelah itu pemerintah cenderung lepas tangan dengan kondisi korban,” kata Supriyadi. Begitu pula dengan bantuan sosial bagi korban, Kementerian Sosial hanya memberikan bantuan dana bagi korban meninggal Rp 2 juta per orang dan cacat tetap atau permanen Rp 2 juta hingga Rp 5 juta. Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan kerugian dan harapan dari korban.
Dalam kasus bom Thamrin, dia menambahkan, banyak pihak yang mengklaim bahwa penanganan korban itu wewenang BNPT dan Kepolisian. Bahkan Pemprov DKI Jakarta juga mengklaim itu wewenang mereka karena lokasi kejadian di Jakarta. Pihaknya mengapresiasi tanggung jawab tersebut. Akan tetapi pasca bom, korban bom Thamrin akan terulang seperti kasus di JW Marriott karena minimnya peraturan pelaksananya.
Sementara itu, Rully Novian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan, Indonesia sudah memiliki peraturan soal hak-hak korban terorisme seperti kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, tiga hak korban itu dilekatkan kepada pengadilan.
Dalam kasus bom JW Marriott, kata Rully, pengadilan telah memutuskan dan mencantumkan kompensasi korban tapi kemudian belum dapat diterimanya. Pasalnya, tidak dijelaskan siapa korbannya, siapa yang mempunyai data korban. “Polisi, BNPT, Densus 88 atau Presiden yang memiliki kewenangan mendata korban. Sayangnya, sampai sat ini belum ada data valid soal korban tindak pidana terorisme,” kata Rully.
Dia menambahkan korban dapat meminta bantuan LPSK tekait pemenuhan hak-hak mereka. Hal itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang LPSK. Namun dalam bantuan itu, korban harus memiliki surat keterangan bahwa dia adalah korban tindak pidana terorisme. “Surat keterangan tersebut sulit didapat korban, karena tidak jelas lembaga mana yang mengeluarkan surat keterangan itu,” ujarnya.