Meski dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 ada beberapa perubahan pada alokasi anggaran belanja, pada prinsipnya RAPBN tahun depan tak jauh berbeda dengan APBN tahun-tahun sebelumnya. Itu terlihat dari masih adanya defisit atau kekurangan anggaran dalam nota keuangan RAPBN 2016.
Ekonom Center of Reform on Economics Akhmad Akbar Susamto mengatakan belanja pemerintah baik pada APBN di tahun sebelumnya maupun RAPBN tahun depan nyatanya jauh lebih besar ketimbang pendapatan pemerintah yang sumbernya paling banyak diperoleh dari pajak. Pemerintah memproyeksikan defisit anggaran pada tahun depan mencapai Rp 273,179 triliun. Nilai ini lebih besar dibanding defisit pada APBNP 2015 sebesar Rp 222,5 triliun.
“Karena defisit anggaran itulah, konsekuensinya untuk memaksimalkan pembiayaan program-program pemerintah yang sudah ditetapkan, pada tahun depan dapat dipastikan pemerintah akan kembali bergantung pada utang,” kata Akhmad ketika ditemui di Jakarta, Selasa (15/9).
Menurutnya, utang merupakan langkah paling mudah yang akan diambil pemerintah. Pemerintah tentu akan kembali berutang kepada lembaga pembiayaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan RAPBN 2016 pembiayaan yang diperoleh dari dalam negeri mencapai Rp 271, 980 triliun. Dari pembiayaan luar negeri sebesar 1,199 triliun.
Dia menyebut, terdapat dua langkah dalam skema peminjaman utang yang akan dilakukan pemerintah. Pertama, memperbolehkan BUMN, terutama yang bergerak di bidang infrastruktur, untuk meminjam utang kepada lembaga pembiayaan untuk melancarkan pembangunan infrastruktur. Kedua, pemerintah akan menerbitkan surat berharga negara. Melalui skema penerbitan surat berharga negara memiliki risiko besar, karena biaya pembayaran utang itu nantinya akan menjadi sangat mahal.
Sebenarnya, kata Akhmad, ada beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah guna meminimalisasi defisit anggaran yang semakin besar itu. Pemerintah bisa menghilangkan anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah untuk hal-hal yang tidak perlu. Memang, cara seperti ini prosesnya akan sulit. Selain berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, pola penghitungan dari pemotongan anggaran itu juga akan sangat rumit.
“Hal inilah yang menjadi kontradiksi. RAPBN 2016 tidak sesuai dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo. Itu karena pemerintah masih mengandalkan pembiayaan dari utang,” kata Akhmad. [*]