Selasa, April 23, 2024

Putusan MK Memperburuk Reformasi Kehakiman

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Ilustrasi. Ketua Majelis Hakim Konsitusi Arief Hidayat (tengah) memimpin sidang putusan pengujian aturan pembatasan calon tunggal Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/9). ANTARA FOTO/Reno Esnir
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Arief Hidayat (tengah) memimpin sidang putusan pengujian aturan pembatasan calon tunggal Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/9). ANTARA FOTO/Reno Esnir

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang tidak melibatkan lagi Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama akan berdampak buruk pada reformasi kehakiman. Pasalnya, tidak ada lembaga independen yang mengawasi kinerja dan perilaku mereka ke depan.

Khairul Fahmi, analis hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, mengatakan, putusan MK bahwa keterlibatan KY dalam menyeleksi hakim sebagai bentuk intervensi lembaga lain terhadap kekuasaan kehakiman adalah hal yang keliru. Dia menilai MK gagal memahami keberadaan KY dalam proses seleksi tersebut. Keberadaan KY itu sebagai supporting sekaligus mendorong kekuasaan kehakiman yang benar-benar merdeka.

“Saya kira MK terjebak masalah ketidakharmonisan kewenangan Mahkamah Agung dan KY. Jadi, pertimbangannya tidak objektif,” kata Khairul ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (10/8). Hal itu bisa dilihat dari beberapa pertimbangan, di antaranya MK menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman wujudnya adalah tidak boleh ada intervensi dari lembaga lain, termasuk dalam proses seleksi hakim.

Tapi, MK harus sadar bahwa lembaganya sendiri dalam proses rekrutmen hakim konstitusi melibatkan lembaga lain seperti Presiden, DPR dan Mahkamah Agung. “Lalu, apakah seperti itu dinilai merdeka,” tegasnya. Begitu juga dengan hakim agung, proses seleksinya melibatkan KY dan DPR. Karena itu, logika MK tidak cocok dengan logika kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dibangun dalam Pasal 24 A,B,C UUD 1945.

Khairul menambahkan, keterlibatan KY sudah seusai dengan amanat undang-undang. UU mengamanatkan untuk melakukan rekrutmen secara transparan dan bertanggung jawab dan hal itu dipenuhi oleh KY. Tapi, MK justru tidak berpihak pada semangat reformasi rekrutmen hakim yang melahirkan hakim-hakim berintegritas.

“Keterlibatan KY sebenarnya untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim,” ungkapnya. Menurut Khairul, keterlibatan KY itu tidak hanya selesai masa tugas para hakim, tapi mulai dari proses penerimaan dia sebagai hakim. Artinya, orang yang diterima sebagai hakim sudah dipersiapkan dari awal sehingga punya integritas dan tidak merusak kredibilitas hakim. “Jadi, posisi keterlibatan KY lebih ke arah itu.”

Dampak dari putusan MK itu adalah KY tidak bisa terlibat lagi dalam proses seleksi hakim, baik di Peradilan Agama, Peradilan Umum, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Khairul menyoroti pengalaman MA yang selama ini cenderung tertutup dalam seleksi hakim. “Dikhawatirkan akan terjadi kolutif,” ungkapnya. “Saya memperkirakan ini menjadi tantangan terberat dalam mendorong reformasi sistem rekruitmen hakim,” katanya menegaskan.

Idealnya, KY memiliki kewenangan untuk terlibat dalam seleksi, baik hakim agung maupun hakim lainnya bersama-sama MA. Kepentingan KY dalam proses seleksi itu adalah untuk menanamkan atau menggali potensi hakim-hakim berintegritas tinggi. “Kita tidak hanya butuh hakim kompeten, tapi juga yang beintegritas lebih penting,” katanya. “Soal kapasitas hakim setiap saat bisa ditingkatkan. Tapi soal integritas ini diselesaikan secara lama, membutuhkan waktu dan proses panjang untuk mempersiapkan itu.”

Terkait hal itu, Khairul pesimistis kalau berharap kepada MA. Dia beralasan pekerjaan MA sudah sangat menumpuk, dan bukan mustahil akhirnya seleksi hakim dilakukan secara asal-asalan. Seharusnya, kata dia, kehadiran KY dimanfaatkan MA untuk mendapatkan hakim-hakim yang berintegitas tinggi.

Seperti diketahui, penyeleksian hakim dulunya hanya dilakukan oleh DPR. Kini, penyeleksian hakim dibantu oleh lembaga independen. Karena itu, semangat untuk melakukan seleksi ukuran profesionalitas diberikan kepada lembaga independen, yakni Komisi Yudisial. Kehadiran KY juga karena pengawasan perilaku dan etika hakim tidak bisa lagi dilakukan secara internal tapi harus melibatkan lembaga eksternal, maka pilihannya adalah KY.

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang menggugat keterlibatan KY dalam tiga UU (UU Peradilan Agama, Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara). MK berpendapat, apabila dihubungkan dengan sistem peradilan satu atap, seleksi dan pengangkatan calon hakim tingkat pertama seharusnya menjadi kewenangan MA.

Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengaku sudah menduga MK akan mengabulkan gugatan para pengurus pusat Ikahi tersebut. Dugaannya itu berkaitan dengan adanya tiga hakim MK yang berasal dari MA. Mereka ikut memutuskan perkara ini. “Putusan ini final dan harus dipatuhi, meskipun terasa janggal,” kata Imam.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.