Mahkamah Konstitusi telah memutuskan uji materi Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Bahwa pemeriksaan anggota Dewan oleh penegak hukum harus mendapat persetujuan dari Presiden terlebih dahulu. Keputusan tersebut dinilai bisa menghambat proses penegakan hukum bagi anggota Dewan yang terbukti melakukan tindak pidana.
Pakar hukum tata negara Margito Kamis mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi itu nanti akan membuat kinerja penegak hukum lebih lamban dalam melakukan penindakan. Pasalnya, sebagaimana diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi itu, penegak hukum harus mengantongi persetujuan presiden jika ingin memprosesnya lebih lanjut.
“Jika harus menunggu keputusan presiden terlebih dahulu, proses penegakan hukum bagi anggota Dewan tentu bakal lebih lama. Karena itu, perlu diatur mekanisme jangka waktu bagi presiden untuk memutuskan pemeriksaan kepada anggota Dewan tersebut,” kata Margito ketika dihubungi di Jakarta, Senin (28/9).
Dia menjelaskan, pengaturan mekanisme jangka waktu putusan presiden itu penting, agar proses penyelidikan dan penyidikan tidak terbengkalai terlalu lama. Misalnya, jangka waktu diberikan kepada presiden selama 30 atau 50 hari. Jika dalam waktu tersebut Presiden belum juga memberi keputusan, maka penegak bisa mengambil langkah inisiatif langsung memproses anggota Dewan yang diduga melakukan pelanggaran.
“Kalau sebulan izin Presiden tidak keluar, penegak hukum langsung saja mulai memperkarakan kasus tindak pidana yang dilakukan anggota Dewan,” katanya. “Jadi, ini sebenarnya menunda, bukan kemudian secara perlahan menghilangkan kasusnya untuk tidak diperkarakan.”
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch menilai, selain dapat membuat lamban proses penegakan hukum, putusan Mahkamah Konstitusi juga dapat mengganggu independensi peradilan. Sebab, proses hukum bagi anggota Dewan yang bergantung pada izin presiden itu secara tidak langsung bisa diintervensi dalam penegakan hukumnya.
Lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, menyatakan persyaratan yang diatur dengan mendapat persetujuan tertulis lebih dulu dari Presiden telah menghambat keseluruhan proses peradilan. Padahal, dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sangat jelas menjamin bahwa sistem peradilan harus bebas dari intervensi.
Dampak lainnya dari putusan Mahkamah Konstitusi ini juga bisa menimbulkan ketegangan dan kegaduhan politik. Sebab, sebagai pengemban fungsi eksekutif, pemberlakuan aturan ini dapat membuat presiden menggunakan wewenangnya itu untuk melindungi koalisinya. Dan bukan tidak mungkin hal ini justru ia gunakan untuk menyerang oposisinya.