Polemik yang terjadi antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta telah merugikan masyarakat ibu kota. Pasalnya, perseteruan tersebut berdampak pada kinerja penyerapan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dilaporkan terendah dibandingkan dengan daerah lainnya.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Sucipto, menjelaskan rendahnya serapan anggaran merupakan implikasi dari konflik antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta. Akibatnya, penyerapan anggaran yang hanya mencapai 19 persen penggunaannya lebih banyak didominasi oleh belanja pegawai.
“Hal tersebut tentunya berdampak pada program kemasyarakatan. Program-program sosial seperti kesehatan dan pendidikan untuk masyarakat pada tahun ini sangat minim. Dengan hanya 19%, infrastruktur yang menyangkut kesejahteraan rakyat tidak berjalan. Itu seperti normalisasi dan pembebasan lahan, pada akhirnya banyak yang dihentikan,” kata Yenny di Jakarta Selasa (6/10).
Tak hanya itu, kata dia, implikasi lainnya menyebabkan kerugian bagi kalangan dunia usaha, terutama usaha-usaha kecil dan menengah yang dimiliki masyarakat. Karena rendahnya penyerapan anggaran itu, tahun ini masyarakat tidak menerima program-program seperti pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Yenny juga menyoroti langkah Ahok yang mengajukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-Perubahan (APBD-P) 2015 kepada Kementerian Dalam Negeri. Pengesehan APBD-P yang memakan waktu cukup lama turut andil terhadap penyerapan anggaran yang rendah.
“Seharusnya itu tidak perlu dilakukan. Jika memang belum disetujui Kemendagri, sejumlah dinas dan instansi tidak dapat menggunakan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan untuk pembangunan. Ini yang juga membuat pengelolaan keuangan di DKI Jakarta karut marut,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yenny mengatakan, jika memang terjadi potensi penggelembungan dana (mark up) di lingkup dinas atau instansi, hal itu bisa dihentikan tanpa perlu mengagendakan APBD-Perubahan. Pemprov DKI Jakarta bisa melakukan efisiensi dan nantinya terdaftar dalam sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran (SILPA).
“Upaya pemanggilan dinas atau instansi yang berpotensi melakukan mark up bisa dilakukan untuk meminta pertanggungjawabannya,” kata Yenny. “Dan ini seharusnya menjadi pertimbangan gubernur DKI Jakarta sebelum mengajukan APBD Perubahan. Karena dampaknya dirasakan masyarakat juga akibat rendahnya penyerapan anggaran.”
Seperti diketahui, Kementerian Dalam Negeri menyatakan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat serapan anggaran terendah dibanding dengan seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Hingga Oktober 2015, serapan anggaran DKI baru 19,39 persen, lebih rendah dari pada provinsi Papua yang berada di posisi kedua terendah, 21,74%.