Aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ari Yurino menilai pengakuan dan permintaan maaf Presiden terhadap korban 65 sangat penting. Ini untuk meluruskan sejarah bangsa yang telah dibelokkan pada rezim Orde Baru sehingga masyarakat tidak berpikiran negatif terhadap para korban 1965.
“Mengungkap sejarah masa kelam itu penting. Pengungkapan itu bukan untuk membuka luka lama tapi menjadi pembelajaran bagi pemerintah, sehingga ada perbaikan di kemudian hari agar tidak terjadi lagi di masa depan. Pengungkapan kebenaran itu penting untuk mengetahui sejarah bangsa. Menjadi korban tahanan politik belum tentu terlibat PKI. Banyak warga sipil yang ditangkap bahkan tidak mengerti soal PKI, tapi mereka menjadi korban 65. Orang yang mengerti itu hanya di tingkat elite,” kata Ari saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/9).
Saat ini, tambah Ari, stigma negatif terhadap korban 65 masih ada. Salah satu sebabnya sejak tahun 1984 hingga menjelang Orde Baru runtuh, masyarakat diwajibkan menonton film PKI. Hal itu secara tidak langsung sudah masuk ke alam pikir masyarakat sampai saat ini. Contohnya, diskusi soal korban 65 dibubarkan dan pemutaran film sejenis juga dibubarkan.
“Diskriminasi dan penolakan terhadap korban 65 masih sangat kuat. Kebebasan politik tidak ada. Stigma ini akibat dampak yang luar biasa dari film tersebut,” kata Ari. “Maka, kalau tidak ada permintaan maaf pemerintah, sampai sekarang masyarakat menilai peristiwa G 30 September itu adalah pemberontakan PKI, kesalahan PKI. Padahal ini pembelokan sejarah yang berdampak pada korban sipil lainnya.”
Ari juga menegaskan permintaan maaf itu bukan untuk PKI tapi untuk korban 65 yang terkena imbas dari kesewenangan pemerintah Orde Baru. Tak hanya itu, kita juga tidak bisa menyalahkan oknum karena kebijakan saat itu dari pemerintah. Jadi, tugas negara untuk meminta maaf kepada korban 65.
“Kita jangan melihat peristiwa ini sebagai persoalan politik. Tapi, ini masalah kemanusian. Bukan kalah dan menang. Mengungkap kebenaran itu penting bagi generasi muda dan yang akan datang untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu. Ini juga bukan persoalan presiden dan militer saja, tapi persoalan masyarakat Indonesia untuk mengembalikan sejarah yang benar,” tandasnya.
Yang tidak kalah penting, negara harus dibangun dengan kejujuran dan mengungkap kebenaran. Tanpa itu pondasi negara tidak kokoh. Karena itu, dia setuju permintaan maaf akan menjadi sebuah terobosan baru di saat Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) mengalami kebuntuan dan nasibnya belum jelas.
Ari mencontohkan kebijakan Wali Kota Palu Rusdy Mastura yang menyampaikan permintaan maaf kepada korban kasus pembunuhan massal pada 1965-1966 di wilayah kota Palu, Sulawesi Tengah, merupakan satu langkah maju. Yang juga menarik, Rusdy Mastura bahkan memulihkan hak-hak korban 65, memberikan kompensasi, layanan kesehatan gratis, dan beasiswa bagi anak-anak korban.
“Itu menarik dan bisa ditiru oleh daerah lain. Contoh konkret di Palu bisa menjadi skema awal dalam permintaan maaf kepada para korban 65. Bisa saja kebijakan daerah tersebut menjadi kebijakan nasional. Di Indonesia, baru dua pejabat negara yang melakukan itu. Abdurrahman Wahid (Gusdur) mewakili NU saat menjabat Presiden dan Wali Kota Palu Rusdy Mastura,” kata Ari.[*]