Kamis, Maret 28, 2024

Pergub Ahok Sinyal Pemerintah Antikritik

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Ribuan buruh melakukan long march menuju Istana Merdeka ketika melakukan aksi unjuk rasa melintasi Kawasan Medan Merdeka, Jakarta, Selasa (1/9). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Ribuan buruh melakukan long march menuju Istana Merdeka ketika melakukan aksi unjuk rasa melintasi Kawasan Medan Merdeka, Jakarta, Selasa (1/9). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pendapat di Muka Umum. Namun, terbitnya pergub tersebut menuai pro dan kontra di beberapa kalangan. Di satu sisi menjaga ketertiban umum, akan tetapi di sisi lain dinilai mengancam hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noerlaila mengatakan, kita harus melihat substansi pergub DKI itu. Pertama, apakah pergub itu melarang orang berpendapat di muka umum atau kedua, menata secara teknis ruang berpendapat di muka umum.

Siti menjelaskan, kalau melarang berpendapat atau berekspresi tidak boleh karena sudah dijamin oleh konstitusi. Namun, kalau menata ruang berekspresi tidak masalah. Hal itu dilakukan agar tidak mengganggu orang lain di ruang publik.

“Ada orang yang berdemo dan ada orang yang tidak berdemo. Kita memberi ruang kepada orang berekspresi tapi jangan lupa orang tidak berdemo juga harus dijamin agar tidak terganggu aktivitasnya,” kata Siti ketika dihubungi di Jakarta.

Menurut dia, pemerintah DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk mengatur tata ruang dalam demo. Mungkin, tambah dia, pengaturan teknis tersebut agar tidak merusak fasilitas umum seperti taman dan tidak terjadi kemacetan di Jakarta. “Bagaimana mengelola tata ruang kota sehingga tidak mengganggu ketertiban umum,” ujarnya.

Di beberapa negara maju, mereka menyediakan ruang demokrasi untuk masyarakat yang ingin berpendapat di muka umum. Contohnya, di Singapura ada lapangan bebas berpendapat dan berorasi. Bahkan, kalau di Jenewa, Swiss, mereka tidak boleh memakai toa dan hanya berdiam di jalan untuk mengekspresikan pendapat mereka di muka umum.

“Selama hak kebebasan berpendapat tak berkurang tidak masalah. Aturan Ahok itu bagus agar tidak merusak taman,” kata Siti.

Hal berbeda diungkapkan pengamat kebijakan publik, Ah Maftuchan. Dia mengatakan, kebebasan berpendapat di muka umum, mimbar di muka umum, dan berserikat sudah diatur dalam konstitusi. UUD 1945 sudah menjamin kegiatan tersebut.

“Kalau Ahok mengeluarkan aturan dan mencederai atau mengganggu warga negara untuk berpendapat di muka umum, saya tidak setuju,” kata Maftuchan. “Berpendapat di muka umum seperti di jalan raya dan di pinggir jalan tidak masalah. Tapi kalau mengganggu pengaturan ruang publik, misalkan tempat ibadah, rumah sakit, dan terminal, itu jangan.”

Prinsipnya, tambah dia, kebebasan berpendapat dan ekspresi dijamin konstitusi. Jadi, aturan di bawah jangan membatasi aturan yang sudah ada. Selain itu, dia menyatakan demo merupakan satu pilihan di luar dialog. “Demo dijamin dalam konstitusi. Tapi kalau tidak ditanggapi atau tidak direspons, itu bagian dari perjuangan. Itu pertarungan seperti adu gagasan, ekonomi, sosial dan agama,” kata Maftuchan.

Sementara itu, Ketua Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) Rudi HB Daman mengatakan, kebijakan itu menunjukkan siapa Ahok. Tindakan itu bukan hanya mengekang ruang demokrasi warga Jakarta tapi seluruh Indonesia. Sebab, tempat kekuasaan pemerintah pusat berada di Jakarta.

“Ahok mengemasnya cukup bagus. Seolah-olah tetap menjamin kebebasan berpendapat tapi pada hakikatnya dia melarang kebebasan berpendapat,” tegas Rudi. “Kalau dia beralasan agar tidak terjadi kemacetan, jangan salahkan rakyat. Tapi ini bukti bahwa Ahok dan pemerintah pusat tidak becus dalam menyelesaikan masalah macet di Jakarta. Mereka sendiri yang membuat kebijakan sehingga macet Jakarta tidak selesai.”

Selain itu, lanjut dia, rakyat tidak akan melakukan demo jika pemerintah membuat kebijakan pro-rakyat. Orang demo karena pemerintah tidak dapat menyelesaikan masalah rakyat. Contoh Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya menyuarakan dan membahas untuk kepentingan rakyat. Tapi dalam praktiknya mereka tidak membahas secara serius masalah rakyat, seperti kasus pembakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.

“Terbitnya pergub itu bukan tanpa alasan. Ahok menyadari bahwa kebijakan menggusur rumah rakyat dan kebijakan reklamasi Teluk Jakarta akan melahirkan gelombang protes dari rakyat.  Ahok membentengi dirinya dengan Pergub. Ini bentuk pemerintah antikritik dan kembali ke rezim Orde Baru,” tegas Rudi.   

Sebelumnya,  Ahok menandatangani Peraturan Gubernur yang membatasi demonstrasi hanya bisa dilakukan di tiga lokasi, di antaranya Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR/MPR RI, dan Silang Selatan Monumen Nasional, Jakarta Pusat.

Sementara itu, waktu untuk unjuk rasa ditetapkan pada pukul 06.00-18.00. Kemudian, demonstran tidak boleh mengganggu kesehatan dengan membakar ban atau menggunakan pengeras suara lebih dari 60 desibel (DB).  Para penegak hukum dapat menindak tegas para demonstran yang melanggar peraturan tersebut.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.