
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyatakan praktik pengelolaan lahan berkesinambungan oleh masyarakat adat merupakan salah satu upaya mencegah perubahan iklim. Dengan adanya pengelolaan tersebut, masyarakat turut menjaga kelestarian hutan.
“Masyarakat adat di Indonesia telah mempraktikkan dan terbukti mampu menjaga kelestarian hutan adat. Jadi, melibatkan masyarakat adat merupakan langkah yang paling baik untuk dapat mengurangi emisi,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (10/12).
Namun, selama ini masyarakat adat tidak terdata dalam statistik. Karena itu, lanjut Abdon, dalam global map, selain memonitor emisi, harus ada keberadaan masyaràkat adat karena bisa membantu negara menjaga hutan dan mencegah emisi karbon. Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dari 6,8 juta hektare wilayah adat yang sudah dipetakan, 65% masih berupa hutan alam.
“Langkah paling efektif dalam penurunan emisi tentunya dengan memberi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya,” tegas Abdon. Kemudian, pihaknya juga telah mengidentifikasi bahwa ada 57 juta hektare atau 80% kawasan hutan dikuasai oleh masyarakat adat. Dan tidak kurang dari 40 juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dalam kondisi yang sangat baik.
Abdon menambahkan untuk menjaga hutan alam, pemerintah Indonesia harus mendukung percepatan pemetaan wilayah-wilayah adat untuk diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional satu peta (one map policy).
Selain itu, memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak masyarakat adat melalui pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat menjadi syarat utama. Saatnya pemerintah Indonesia mempercepat penyelesaian hak tenurial, pembenahan sistem pemanfaatan hutan dan lahan, keterbukaan proses perizinan, dan penegakan hukum sebagai upaya perbaikan tata kelola.
“Dengan tata kelola yang baik, pemerintah pasti dapat mencegah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan agar tidak semakin parah akibat pembakaran hutan dan lahan. Artiya, memberi harapan untuk merealisasikan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030,” kata Abdon.
Semetara itu, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, pemerintah juga memberikan inisiatif distribusi lahan untuk perhutanan sosial. Masyarakat lokal di sekitar wilayah hutan dapat meminta izin untuk mengelola lahan hutan milik negara.
“Tindakan ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus tetap menjaga kelestarian hutan,” ujar Hadi. Tak hanya itu, pihaknya juga mengakui telah mempraktikkan keadilan gender dalam hak kepemilikan lahan. Misalnya di Sumatera Barat, perempuan lebih dominan sebagai pemilik lahan.
Menurutnya, keadilan gender dalam hak kepemilikan lahan menjadi faktor penting dalam upaya restorasi lahan di negara-negara berkembang untuk turut mencegah perubahan iklim. Perempuan memiliki keahlian untuk mengelola lahan secara berkelanjutan dan dapat memproduksi banyak hasil pangan, tapi di banyak negara perempuan sedikit yang memiliki lahan.