Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai pengelolaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 tidak memuaskan. Pasalnya, ada sejumlah catatan buruk implementasi politik anggaran tidak tercapai.
“Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi merupakan salah satu kementerian yang kinerjanya paling rendah, yakni sekitar 11% realisasi anggaran triwulan III,” kata Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi, di Jakarta, Rabu (16/12). “Harusnya kementerian yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat memiliki kinerja baik sesuai dengan Nawa Cita Jokowi-JK.”
Sedangkan Kementerian Sosial, tambah dia, realisasi anggarannya mencapai 70%. Hal itu terjadi karena pengelolaan anggaran yang cukup bagus dan belanja rutin kementerian. Akan tetapi, potensi kerugian negara akibat pengelolaan tersebut mencapai Rp 267 miliar. Kerugian tersebut yang paling besar di antara kementerian lainnya.
Fitra juga menyoroti pengurangan dan pengalihan dana subsidi ke sektor pembangunan infrastruktur. Menurut Apung, pengalihan dana tersebut akan menghambat kesejahteraan rakyat. Sebab, pengalihan dana subsidi infrastruktur belum tepat sasaran.
“Pembangunan infrastruktur belum menjangkau daerah yang benar-benar membutuhkan kesejahteraan,” ujar Apung. “Bahkan tidak ada dana stimulus untuk kepentingan masyarakat.”
Apalagi, tambah Apung, transfer dana desa per Oktorber 2015 tersumbat. Pemerintah baru mentransfer dana desa sebesar Rp 9 triliun (47%) dari total dana desa sebesar Rp 20 triliun. Artinya, ada Rp 10 triliun (52%) dana desa yang belum didistribusikan.
Karena itu, Fitra mendesak pemerintah untuk mengelola dana desa secara baik dan benar dengan menguatkan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Sebab, dana desa dan transfer ke daerah meningkat pada APBN 2016. Dana desa dari Rp 20 triliun menjadi Rp 47 triliun. Begitu pula dana transfer daerah, dari Rp 664 triliun menjadi Rp 782 Triliun.
Kemudian, pihaknya meminta kepada pemerintah untuk tidak melakukan APBN P 2016 pada Februari, namun pada September. Hal itu dilakukan untuk menghindari ruang transaksional seperti APBN P 2015. Tak hanya itu, perubahan itu untuk memperluas penyerapan dan menjamin ekonomi nasional.