Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron mendukung rencana pemerintah untuk menaikkan nilai ganti rugi sebesar 200 kali lipat terhadap korban salah tangkap atau peradilan sesat. Akan tetapi pemerintah tidak boleh mengesampingkan pertanggungjawaban aparat penegak hukum atas kesalahan penangkapan tersebut.
“Kita dukung kenaikan gunti rugi 200 kali lipat terhadap korban salah tangkap. Tapi pemerintah harus meminta pertanggungjawaban kepada jaksa penuntut umum, hakim, dan penyidik atas tindakannya. Jika bersalah, berikan sanksi, baik sanksi administratif, tidak naik pangkat atau pemecatan,” kata John IM Pattiwael, direktur LBH Mawar Saron di Jakarta, Kamis (26/11).
Menurut John, sanksi tersebut dilakukan untuk memberikan tanggung jawab kepada institusi penegak hukum dalam melakukan penangkapan. Pihaknya menilai penangkapan seseorang harus dilakukan secara selektif. Sebab, dampaknya sangat besar bagi korban, baik materi maupun psikologis. Misalnya, salah satu kasus di Semarang. Klien LBH Mawar Saron, Sri Mulyati, bekerja di tempat karaoke sebagai kasir. Dalam kasus tersebut, Sri Mulyati ditangkap karena dituduh mempekerjakan anak di bawah umur. Sedangkan pemilik karaoke tidak disentuh oleh penegakan hukum.
“Dia ditangkap, diproses, dan mendekam di penjara selama 13 bulan tanpa putusan pengadilan. Ini sangat merugikan karena seharusnya klien kami produktif, tapi kenyataannya sebaliknya. Begitu pula kasus di Polda Metro Jaya. Kklien kami, Krisbayudi, menjadi korban salah tangkap dan hingga saat ini dia masih trauma walaupun sudah dibebaskan,” kata John. “Dua kasus tersebut, kita menangkan dalam praperadilan, bahkan sampai ke tingkat kasasi.”
Meskipun menang di kasasi, lanjut John, tidak ada mekanisme penindakan terhadap kinerja mereka. Bahkan, para penyidik di Polda Metro Jaya tersebut tetap mendapatkan promosi jabatan dari institusinya. Selain itu, dia menilai Jaksa Agung saja berani menindak 169 jaksa penuntut umum karena proses tidak sesuai KUHAP. Semestinya kepolisian juga memiliki semangat yang sama dengan Jaksa Agung.
Kepolisian seharusnya punya mekanisme pelaporan dari masyarakat yang menggunakan abuse of power. Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu. John menilai, kalau masyarakat melakukan kejahatan, kita mempertanggungjawabkan pidananya. Namun, ketika kita meminta pertanggungjawaban ke penegak hukum terkait salah tangkap, pemerintah melindungi mereka dengan memberikan ganti rugi kepada korban.
“Penegak hukum yang berbuat kesalahan, pemerintah yang menanggung tindakan mereka. Bahkan pemerintah beralasan, jika itu dibebankan kepada hakim, jaksa, dan kepolisian, maka secara psikologis tugas mereka terganggu,” katanya. “Sudah dapat atribut pejabat negara, punya kewenangan subjektif, menahan orang sesuka-sukanya dan masih dilindungi negara secara psikologis. Ingat, uang ganti rugi itu adalah pajak dari orang yang masuk ke dalam penjara.”
John menambahkan, di saat kita ingin menyelamatkan uang negara, pemerintah membuat anggaran ganti rugi atas kesalahan penegak hukum. Ganti rugi ini merupakan kerugian negara. Seharusnya, lanjut dia, prinsip kehati-hatian pegawai perbankan harus diterapkan di kepolisian. Pegawai perbankan yang tidak hati-hati dalam mengambil tindakan bisa dipindana 10 tahun penjara. Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah membuat aturan ihwal pertanggungjawaban aparat penegak hukum, baik itu PP, aturan internal atau masuk dalam program legislasi nasional.
“Inggris saja penegak hukumnya bisa dipenjara 20 tahun jika terjadi kesalahan penangkapan. Itu belum termasuk pemecatan,” kata John.