Cepatnya laju penyusutan hutan alam Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir tidak diiringi dengan meningkatnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam bentuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Hal itu akibat tidak sesuainya pencatatan volume produksi kayu yang ditebang dengan laporan yang diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama 2003–2014 mencapai 143,7 juta meter kubik (m3). Dari produksi itu, sebanyak 60,7 juta m3 dipungut oleh pemegang izin hak pengelolaan hutan (HPH) melalui sistem tebang pilih. Sedangkan 83,0 juta m3 merupakan hasil pembukaan lahan untuk pengembangan hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit dan karet, serta pertambangan.
Namun, menurut temuan penelitian dan pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), produksi yang tercatat jauh lebih rendah daripada volume kayu yang ditebang dari hutan alam Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya selama 2003-2014 mencapai 630 sampai 772 juta m3. Angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari KLHK hanya mencatat 19 -23% dari total produksi kayu, sedangkan 77-81% tidak tercatat.
“Akibat ketidaksesuaian laporan itu, pemerintah hanya memungut PNBP sekitar Rp 31 triliun dalam waktu 11 tahun. Seharusnya pemerintah mendapat PNBP sebesar Rp 93-118 triliun dari dana reboisasi dan PSDH. Artinya, kerugian negara mencapai Rp 62-86 riliun,” kata Hariadi dalam diskusi “Menghentikan Kerugian Negara Sektor Kehutanan” di Jakarta, Kamis (15/10).
Hariadi yang juga tim peneliti KPK menjelaskan, perusahaan tidak mungkin menghasilkan 8-11 m3 per hektare. Sebab, kalau angka itu dipakai, perusahaan tersebut pasti mengalami kerugian. Normalnya, satu hektare menghasilakn 30-40 m3 kayu. Jadi, pasti ada log yang tidak dilaporkan perusahaan. Menurut Hariadi, hasil verifikasi di lapangan (Riau, Kalimantan, Timur dan Kalimanatan Tengah) tim menemukan kelemahan dalam sistem administrasi PNBP kehutanan, di antaranya data dan informasi, pengendalian internal, dan akuntabilitas eksternal.
“Semua pendataan SDA di wilayah konsesi dikuasai oleh pemegang izin karena mereka bisa menginventarisasi 100%. Sedangkan pemerintah tidak punya data SDA. Mereka hanya memverifikasi sampel 1-5% di wilayah perusahaan itu. Seharusnya terbalik, pemerintah yang punya data tentang SDA, bukan perusahaan,” tegasnya. Hariadi juga menyoroti pengawasan KLHK terhadap perusahaan konsesi.
Dia mengatakan, tim yang melakukan pengawasan di lapangan tidak mendapatkan fasilitas memadai, seperti biaya transportasi dan penginapan. Semua biaya pengawasan tersebut ditanggung perusahaan sehingga hasilnya patut dipertanyakan. “Laporan daerah dan pusat, hanya masalah izin legal atau tidak, dan hasil perusahaan kayu berdasarkan kertas-kertas saja. Jadi, apakah orang ini tahu fakta di lapangan? Tidak,” kata Hariadi.
Hal serupa diungkapkan Made Ali dari Riau Corruption Trial. Dia mengatakan pengawas dari Dinas Kehutanan mendapat biaya transportasi dan penginapan dari perusahaan untuk melakukan verifikasi. Dengan demikian, mereka tidak tahu fakta di lapangan berapa jumlah riil hasil penebangan kayu.
“Perilaku korporasi buruk. Sudah untung besar-besaran sampai tidak melaporkan laporan hasil penebangan (LHC) sesuai fakta riil di lapangan. Bahkan mereka membakar lahan untuk mengurangi biaya penyiapan lahan. Moral mereka buruk,” tegas Ali.