Jumat, April 19, 2024

Negara Diminta Berikan Pengakuan Politik pada Perempuan Nelayan

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Nelayan teri ekspor beraktivitas usai melaut di Pantai Jumiang Pamekasan, Rabu (7/10). Dalam satu bulan terakhir nelayan di daerah itu mengaku pendapatannya turun drastis bahkan kerap merugi seiring minimnya tangkapan karena tingginya suhu permukaan perairan Madura. ANTARA FOTO/Saiful Bahri
Nelayan teri ekspor beraktivitas usai melaut di Pantai Jumiang Pamekasan, Rabu (7/10). ANTARA FOTO/Saiful Bahri

Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat merumuskan Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam ke dalam Program Legislasi Nasional 2016 disambut baik oleh masyarakat pesisir. Utamanya mereka nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, mengatakan bersamaan dengan perayaan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, maka RUU ini menjadi momentum bagi negara untuk memberikan politik pengakuan kepada perempuan nelayan.

“Sebab, perempuan nelayan merupakan aktor penting di sektor perikanan dan pergaraman. Tapi sayangnya, hingga hari ini belum diakui oleh negara dan hanya sebagai pelengkap di dalam  RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang akan diundangkan sebelum masa reses DPR,” kata Abdul berdasarkan keterangan resminya di Jakarta, Selasa (8/3).

Menurut dia, tidak diakuinya peran perempuan nelayan di dalam kebijakan nasional, maka dapat dipastikan tidak ada skema perlindungan dan pemberdayaan yang diperuntukkan bagi perempuan di kawasan pesisir yang peranannya mencakup nelayan, pembudidaya, maupun petambak garam.

“Hal ini tentu bertolak belakang dengan kesepakatan di level internasional yang telah dicapai dan diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang mengamanatkan negara hadir untuk memenuhi hak-hak dasar perempuan,” katanya.

Berdasarkan isi dari konvensi itu, dia menjelaskan, ada sepuluh hak perempuan nelayan, pembudidaya, dan petambak garam yang harus dipenuhi oleh negara. Dari hak untuk bekerja, mendapatkan pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja yang baik, mengakses dan mendapatkan pendidikan yang layak, mendapatkan jaminan sosial dan mendapatkan pelatihan dan pendidikan (formal dan informal).

Kemudian, perempuan berhak untuk berorganisasi dan mendirikan koperasi sebagai wadah perjuangan kesetaraan, turut berpartisipasi di dalam seluruh aktivitas masyarakat, mendapatkan kredit perikanan, pelayanan pemasaran, dan teknologi, serta berhak atas tanah dan yang terakhir memiliki hak untuk memperoleh rumah, sanitasi, listrik, air bersih, dan transportasi.

Selain itu, Abdul menambahkan, ketiadaan pengakuan secara politik kepada perempuan nelayan di dalam RUU tersebut, juga bertentangan dengan Petunjuk Sukarela untuk Menjamin Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam konteks ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.

Padahal, dalam dokumen tersebut sudah jelas disebutkan bahwa negara wajib memperlakukan perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam secara istimewa untuk mendapatkan hak-hak dasarnya.

Karena itu, Abdul berharap, RUU tersebut menjadi harapan bagi semua perempuan nelayan, pembudidaya, dan petambak garam di seluruh Indonesia. Tanpa memuliakan perempuan pada sektor tersebut, cita-cita Pembukaan UUD 1945 tidak akan mudah diwujudkan.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.