Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus terbuka ihwal informasi tata kelola hutan di Indonesia. Sebab, dengan keterbukaan informasi itu, masyarakat sebagai konstituen utama dapat berperan dalam melakukan check and balance terhadap kinerja pemerintah dalam menjalankan mandatnya.
Direktur Eksekutif FWI Christian Purba mengatakan, masih tingginya angka deforestasi di Indonesia merupakan bukti bahwa pengelolaan hutan masih tidak terkontrol, akibat tidak dilakukan secara terbuka. Dengan adanya informasi yang terbuka, masyarakat mampu melakukan kontrol terhadap pemanfaatan sumber daya hutan dan yang pasti akan berkontribusi untuk menekan tingginya laju deforestasi.
“Untuk mencegah kerugian negara lebih besar, masyarakat harus turut aktif mengawasi praktik- praktik pengelolaan hutan di Indonesia. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Kehutanan telah memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mengetahui dan mengawasi segala bentuk rencana pemanfaatan sumber daya hutan yang merupakan barang publik,” kata Christian di Jakarta, Jumat (13/11).
Dia mejelaskan, pada tahun 2015 ada temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menguatkan bahwa korupsi merupakan implikasi dari tertutupnya informasi dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Kementerian Lingkungan mencatat, dalam kurun 2003-2014, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia mencapai 143,7 juta meter kubik.
Sementara itu, KPK menemukan bahwa dalam periode yang sama, total produksi kayu nasional diperkirakan 630,1 sampai 772,8 juta meter kubik. Perbedaan data tersebut disinyalir menyebabkan Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 598–799 triliun atau Rp 49–66 triliun per tahun.
Juru Kampanye FWI Linda Rosalina mengatakan, keterbukaan informasi tidak cukup di sektor kehutanan saja, tapi juga namun harus di seluruh sektor yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Irisan antara sektor kehutanan dan sektor-sektor lain, seperti perkebunan, pertanian, energi dan pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembangunan infrastruktur, terutama dalam hal penggunaan lahan dan dampaknya terhadap masyarakat.
“Prinsip keterbukaan dan partisipasi publik memiliki korelasi positif. Keterbukaan informasi akan memberi ruang bagi masyarakat yang terdampak oleh pembangunan untuk menentukan pendapat dalam menerima ataupun menolak sebuah rencana eksploitasi sumber daya alam di wilayahnya. Dengan begitu masyarakat bisa turut melakukan kontrol dalam pelaksanaannya,” ujar Linda
Dia mengingatkan paradigma keterbukaan harus terus dibangun dan membutuhkan kolaborasi antarsektor, terutama di bawah kementerian/lembaga, untuk melangkah maju menuju perbaikan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Hal senada disampaikan oleh Yhannu Setyawan, Komisioner Komisi Informasi Pusat. Dia mengatakan Kementerian Lingkungan semestinya sudah semakin siap menjalankan amanah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Jika amanah UU ini diterapkan, untuk mendapatkan informasi publik tidak harus dengan sengketa seperti dialami oleh FWI.
Semangat keterbukaan, dia menambahkan, harus ditularkan kepada kementerian/lembaga lain agar segera berbenah dalam menjalankan amanah keterbukaan informasi publik pada setiap sektor yang mengelola SDA.
“Kita tentu memaklumi bahwa masih ada persoalan tata kelola sumber daya alam di Indonesia yang harus didorong untuk lebih lebih terbuka. Jika terwujud, hal ini memberi ruang bagi partisipasi publik untuk mengawal tata kelola pengelolaan SDA yang lebih akuntabel ke depan,” tutup Yhannu.