Koalisi Bongkar Mafia Parlemen menegaskan PT Freeport Indonesia memiliki hubungan politik dengan elite politik sejak 1966 sebelum mendapat kontrak karya. Hubungan politik itu merupakan cara Freeport memperpanjang izin operasi sebelum kontrak karya berakhir.
“Freeport mendapatkan kontrak karya pada April 1967 atau kontrak karya generasi pertama. Kontrak itu didapatkan dengan mempengaruhi orang terdekat Soekarno di akhir kekuasaanya. Akibat elite politik tersebut, lahir UU No. 1 Tahun 1967 tentang Pertambangan,” kata Muhammad Chalid, perwakilan Koalisi Bongkar Mafia Parlemen, di Jakarta, Selasa (24/11).
Dia menjelaskan, Freeport mendapatkan kontrak karya karena melibatkan kekuatan politik. Begitu pula pada 1991 Freepot kembali mengulangi perpanjangan kontrak dengan menggunakan kekuatan politik di era Presiden Soeharto. Kontrak izin operasi tersebut didapatkan sebelum masa kontrak berakhir. Pada tahun 1997, di saat perusahaan asing tidak boleh beroperasi di Indonesia, Freeport tetap bisa beroperasi. Bahkan UU diubah untuk kepentingan perusaahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Di tahun 2014, lanjut Chalid, Freeport kembali mendekati partai politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan kebijakan yang melawan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pertentangan itu dilakukan terang-terangan dengan melakukan nota kesepahaman (MoU) dengan PT Freeport Indonesia. MoU itu membolehkan kegiatan ekspor konsentrat Freeport selama enam bulan ke depan tanpa membangun smelter.
“Tidak mungkin Freeport memiliki power sebesar itu tanpa backup politik,” ujar Chalid. “Jadi, keterlibatan Setya Novanto adalah bagian cara operasi Freeport. Ingat, Setya Novanto adalah Ketua DPR dan ini bagian dari strategi Feeport untuk melanggengkan kegiatan mereka di Indonesia.”
Dia menambahkan, kalangan masyarakat terdidik mengetahui bahwa oligarki politik begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan republik ini. Oligarki itu terlihat sangat terang ketika mereka, atas nama Koalisi Merah Putih, memberikan dukungan penuh kepada Setya Novanto sebelum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bekerja. Menurutnya, langkah tersebut merupakan pelanggaran etik. Sebab, MKD belum mulai bekerja, pemimpin partai politik sudah memberi dukungan penuh kepada Setya Novanto.
Artinya, lanjut Chalid, mereka yang duduk di MKD merupakan kader-kader partai politik. Dengan demikian, suka atau tidak suka, mereka akan terpengaruh dengan sikap politik yang diambil para petinggi partai tersebut. Karena itu, dia mengimbau generasi muda di parlemen yang masih memiliki ketulusan dalam berpolitik dan kejernihan dalam bertindak untuk melakukan pembangkangan terhadap pimpinan partai politik.
Generasi muda di partai, dia menegaskan, harus mendesak MKD melakukan persidangan dengan cermat, mempertimbangkan aspirasi publik, dan menjujung tinggi nilai-nilai etik untuk memproses secara transparan dan adil. “Saatnya generasi muda di parlemen membongkar skandal Freeport sejak 1967 sampai sekarang. Buka semua orang yang menerima rente atau pemburu rente secara terang-benerang. Anda-anda semua itu berpikir untuk kebaikan bangsa, bukan untuk kebaikan pimpinan partai politik.”
Chalid mencermati buntut dari pelaporan Sudirman Said atas Setya Novanto harus dilihat dalam konteks lebih besar, baik di eksekutif maupun legislatif. Konteks tersebut untuk memperbaiki hubungan Jakarta dan Papua. “Jangankan perpanjangan KK Freeport, ingat yang membuat Kelly Kwalik (pemimpin Organisasi Papua Merdeka) masuk hutan dan menyatakan perang melawan pemerintah pusat karena Freeport,” tegas Chalid.