Sabtu, November 2, 2024

Boikot Produk untuk Mendidik Perusahaan Pembakar Lahan

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
- Advertisement -
Sejumlah pekerja memadamkan lahan yang terbakar di Desa Sungai Merang, Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (10/10). Lokasi lahan yang terbakar di areal konsesi PT Rimba Hutan Mas (RHM) itu seluas 6.000 hektar. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Sejumlah pekerja memadamkan lahan yang terbakar di Desa Sungai Merang, Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (10/10). Ini areal konsesi PT Rimba Hutan Mas (RHM) dengan luas 6.000 hektare. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nasional, Abetnego Tarigan, mengatakan boikot oleh masyarakat terhadap produk pembakar lahan merupakan tindakan mendidik perusahaan. Dengan boikot, perusahaan diminta mengubah cara memproduksi barang yang salah, seperti pembakaran lahan konsesi.

“Boikot itu bagian dari mendidik perusahaan. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas produk yang dijual tapi juga bagaimana produk itu dihasilkan. Ini bukan sekadar masalah legal dan formal saja, tapi perusahaan harus bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” kata Abetnego di Jakarta, Selasa (13/10).

Menurutnya, boikot akan berdampak besar terhadap perusahaan, seperti kerugian bisnis dan pemasukan keuangan perusahaan. Jadi, mau tidak mau, perusahaan harus mengubah regulasi soal cara menghasilkan produk yang tidak merusak lingkungan dan sosial. “Boikot tidak akan mematikan perusahaan, tapi meminta pertanggungjawaban perusahaan.”

Namun, Abetnego menjelaskan, ada tantangan bagi masyarakat ketika melakukan boikot, yaitu masih ada ketergantungan masyarakat terhadap produk perusahaan pembakar lahan. Contohnya minyak dan tisu. Masyarakat masih bergantung dengan produk tersebut sehingga sulit melakukannya. Tapi bukan berarti tidak bisa boikot. “Saya pikir pemahaman publik dan gerakan sosial yang luas bisa membuka ruang boikot untuk produk perusahaan pembakar lahan,” ungkap Abetnego.

Dia menyebut kasus buruh Nike Indonesia yang diupah 2,46 dolar AS per hari. Sedangkan harga sepasang sepatu Nike sekitar 90-100 dolar AS (kurs rupiah 1997). Padahal, satu orang dapat menghasilkan sekitar 100 sepatu. Akibat dari upah yang tak layak, buruh Nike Indonesia dan masyarakat AS menggelar aksi protes. Bahkan muncul boikot dan gerakan anti Nike. Kemudian ada beberapa negara maju seperti Singapura yang lebih mengutamakan cara produksinya dibanding kualitasnya, kata Abetnego.

Ali Paganum, Ketua Departemen Organisasi Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyatakan mustahil bagi pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla untuk memboikot produk Sinar Mas dan grup Wilmar. Apalagi melarang produk tersebut beredar di pasar Indonesia.

“Justru Jokowi mengukuhkan tuan tanah dalam paket kebijakan ekonomi tahap 1, 2 dan 3,” kata Ali. Dalam regulasi, pemerintah Jokowi memangkas 10 izin dari 16 izin yang ada. Bahkan paket kebijakan ekonomi tahap 3, hak guna usaha bisa dibuat 45 hari dengan syarat di atas 200 hektare. Sebelumnya, perusahaan membutuhkan waktu 90 hari dalam pembuatan HGU di atas 200 hektare. “Itu menunjukkan bahwa ekonomi Jokowi-JK hanya meluaskan monopoli tanah.”

AGRA juga menyoroti tuntutan pemerintah terhadap anak perusahaan PT Sinar Mas (PT Bumi Mekar Hijau) ke pengadilan. Tuntutan perdata Rp 7 triliun itu sangat kecil, sebab perusahaan tersebut salah satu anak perusahan Sinar Mas dari 10 yang beroperasi. “Jadi, tidak mungkin pemerintah menyentuh perusahaan induk Sinar Mas,” katanya.

Sinar Mas, tambah dia, memiliki lahan konsesi yang luas di Indonesia. Untuk kosensi kayu saja, mereka memiliki lahan sekitar 2 juta hektare. Adapun konsesi sawitnya ada 780 ribu hektare. Tapi dengan lahan konsesi yang besar, apa yang didapatkan oleh pemerintah tidak sebanding dengan dampak yang mereka lakukan. Karena itu, Jokowi harus bertanggungjawab.

Selain itu, dia juga meragukan boikot bisa dilakukan masyarakat sebab masih ada ketergantungan dengan produk perusahaan pembakar lahan, baik tisu dan minyak. Tapi bukan berarti tidak bisa minta pertanggungjawaban. “Kita bisa meminta pertanggungjawaban kepada bank yang menyokong perusahaan pembakar lahan,” tegasnya.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.