Salah satu cita-cita Presiden Joko Widodo dalam pemerintahannya adalah menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Cita-cita ini merupakan langkah yang tepat mengingat potensi yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah. Namun, tujuan ini tidak akan bisa tercapai jika pemerintah masih bergantung pada kekuatan modal asing.
Menurut Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Riza Damanik, masuknya pihak asing ke sektor strategis seperti kelautan dan perikanan, dengan membolehkan kapal-kapal asing berkapasitas 100 gross ton menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia, pada akhirnya hanya akan menyingkirkan masyarakat. Terutama yang mereka menempati daerah pesisir pantai.
“Masyarakat di sana, yang umumnya berprofesi nelayan, berpotensi kehilangan mata pencahariannya. Maka tak heran jika saat ini banyak nelayan yang telah beralih profesi,” kata Riza.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sepanjang periode 2003 hingga 2013 jumlah nelayan di Indonesia turun. Jika sebelumnya ada 1,6 juta nelayan, jumlahnya pada 2013 menjadi 800 ribu. Artinya, separuh nelayan telah hilang dalam sepuluh tahun terkahir. Fakta ini menunjukkan, cita-cita Presiden Joko Widodo sangat bertolak belakang untuk menjadikan Indonesia poros maritim dunia.
“Gagasan mulia tersebut akan tercapai bila pemerintah memaksimalkan peran masyarakat. Sebab, ini kekuatannya ada pada rakyat, bukan pada bangsa lain melalui kekuatan-kekuatan modalnya,” kata Riza menegaskan.
Dia menambahkan, langkah pemerintah mengundang investasi asing untuk masuk ke sektor kelautan dan perikanan menunjukkan pemerintah belum menaruh kepercayaan besar kepada kekuatan bangsa sendiri. Dalam hal ini kekuatan para nelayan lokal yang menjadi ujung tombak sebuah negara maritim.
Tak hanya dari pihak asing, kekuatan modal dari dalam negeri nyatanya juga ikut andil terhadap hilangnya para nelayan tersebut. Pola pembangunan yang dilakukan para pengusaha properti membuat sejumlah rumah tangga nelayan tergusur. Di mata Riza, praktik seperti ini diprediksi bakal terus terjadi, mengingat pembangunan reklamasi pantai di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa masih terus berlanjut.
“Meski masyarakat menolak adanya reklamasi tersebut, pembangunannya sampai saat ini masih terus dilakukan. Sementara pemerintah hanya diam.” [*]