Rencana pemerintah mewajibkan kegiatan bela negara bagi setiap warganya dinilai merupakan suatu upaya militer untuk menguasai masyarakat sipil. Pasalnya, melalui bela negara peran militer akan semakin luas dan bukan tidak mungkin dapat mengancam sistem demokrasi di Indonesia.
Aminudin Syarif dari Setara Institute mengatakan program bela negara yang digagas Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu merupakan upaya politik untuk mengembalikan peran militer menangani permasalahan sipil. Kondisi ini tentu langkah mundur dengan mengedepankan peran tentara seperti terjadi sebelum reformasi 1998.
“Kami khawatir nanti program bela negara berdampak pada militerisasi terhadap sipil. Dan tentu hal ini bertolak belakang dengan cita-cita semangat reformasi yang sudah lama kita capai,” kata Aminudin ketika ditemui di Jakarta, Rabu (21/10).
Dia menjelaskan, bela negara merupakan langkah awal bagi TNI untuk kembali dalam berbagai kegiatan masyarakat sipil. Hal ini bisa berkembang lebih jauh, sehingga penguasaan TNI terhadap masyarakat sipil kembali terjadi seperti pada era pemerintahan Soeharto.
Keinginan TNI memiliki wewenang lebih luas, kata Aminudin, sudah terlihat melalui pengajuan Peraturan Presiden baru-baru ini. Dalam Perpres tersebut, terutama Pasal 7, disebutkan memberi jaminan kepada TNI untuk menangani kejahatan seperti ancaman terorisme, penyelundupan, dan pemberantasan narkoba. Menurut Aminudin, pasal tersebut jelas bertolak belakang karena itu wewenang dan tanggung jawab pihak kepolisian, bukan TNI.
“Perpres yang diusulkan TNI tersebut nanti akan menjadi dasar hukum bagi TNI untuk menggunakan senjata terhadap ancaman nonmiliter atau masyarakat sipil dengan dalih untuk meningkatkan keamanan,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Setara Institute Hendardi mendesak pemerintah untuk meninjau ulang program bela negara. Sebab, bela negara dengan pelatihan militer dalam kondisi sekarang ini tidak ada urgensinya. Ancaman yang muncul dari faktor eksternal saat ini bukan lagi bersifat kekerasan fisik. Berbeda dengan kondisi masa lalu yang masih ada penjajahan dari negara lain.
Belum lagi, dia menambahkan, program ini masih punya kendala seperti dari segi anggaran. “Perlu dipertanyakan anggaran yang dibutuhkan untuk program bela negara sumbernya dari mana,” ujar Hendardi. Menyangkut anggaran negara, program ini tentu perlu didiskusikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
“Tidak serta merta langsung direalisasikan karena ini menyangkut APBN. Dan ini menunjukkan program ini seolah bukan program pemerintah atau negara, tapi lebih kepada program satu kementerian saja sebagai proyek.”