Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan intimidasi dan teror terhadap tiga wartawan di Lumajang, Jawa Timur, merupakan ancaman serius. Pasalnya, ketiga wartawan (KompasTV, TV One, dan JTV) mendapatkan teror pembunuhan setelah melakukan peliputan kasus tambang pasir ilegal yang berada di desa Selok Awar-awar.
“Teror ini serius. Sebab, kasus teror ini pernah terjadi terhadap aktivis Salim Kancil dan terbukti dia menjadi korban pembunuhan,” kata Ketua AJI Indonesia Suwarjono di YLBHI Jakarta, Senin (9/11). “Jadi, kepolisian harus mengungkap teror tersebut sampai ke aktor intelektualnya.”
Dia menjelaskan, pengungkapan aktor intelektual oleh penegak hukum harus dilakukan secepatnya, sebab kasus Salim Kancil tidak punya efek jera terhadap 32 pelaku tersangka. Bahkan pelaku lainnya belum ditangkap oleh pihak kepolisian dan mereka masih berkeliaran di Lumajang. Salah satu buktinya masih terjadi intimidasi terhadap warga dan wartawan yang mengawal kasus tersebut.
Menurut Suwarjono, lambatnya penegakkan hukum terhadap pelaku penebar teror dikarenakan banyaknya pihak yang diduga menerima upeti dan terlibat dalam kasus tambang pasir. Mulai dari kelurahan, instansi pemerintah daerah, dan perwira kepolisian. Bahkan anggota DPRD Lumajang diduga menjadi beking tambang pasir.
Karena itu, AJI mendesak Polda Jawa Timur untuk mengungkap pelaku teror di lapangan hingga aktor intelektual. Kepolisian juga didesak memberi jaminan kepada wartawan dalam peliputan di lapangan dan anggota keluarganya. Alasannya jelas, keluarga korban tinggal di daerah Lumajang yang wilayahnya kecil sehingga intimidasi dan teror sangat mudah terjadi di sana.
“Perusahaan media juga harus melindungi wartawannya di lapangan,” tegas Suwarjono. Selama ini wartawan di daerah itu kebanyakan kontributor sehingga tidak memiliki asuransi kesehatan dan penghasilan tetap jika tidak ada pemberitaan, kecuali karyawan tetap. Dengan kondisi seperti ini, perusahaan media harus memberi upah kepada kontributornya selama intimidasi itu berlangsung. Dan ini salah satu bentuk perhatiaan dan pelindungan kepada kontributor di lapangan.
Dia juga menjelaskan, pihak-pihak yang merasa keberatan terhadap pemberitaan media harus menempuh jalur Dewan Pers. Semua mekanismenya ada, kalau keberatan bisa mengklarifikasi ke media tersebut dan memberi ruang hak jawab kepada pihak-pihak yang dirugikan. Bukan malah menerbar teror kepada wartawan.
Sementara itu, Wahyu Nandang Herawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, polisi dituntut bekerja keras dalam mengungkap kasus teror terhadap wartawan. Seperti diketahui, ada 32 orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tapi tidak memiliki efek besar bagi pelaku teror lainnya.
“Ini menjadi penting karena penegak hukum belum menangkap pelaku lainnya. Dan polisi dituntut bekerja keras mencari aktor intelektualnya,” kata Wahyu. Ketika polisi menangkap pelaku intelektualnya, kita tentu apresiasi. Akan tetapi kalau sekadar pelaku di lapangan, penegakan hukum kita dipertanyakan.