Faktor kebakaran hutan tidak hanya dari perusahaan.
Meme Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang Parlas Nababan mendadak menjadi viral di media sosial. Cibiran virtual tersebut dibuat dan menjadi perhatian luas para netizen setelah Hakim Parlas membuat keputusan kontroversial yang membatalkan gugatan hukum pemerintah terhadap PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH) atas kasus kebakaran lahan konsesi seluas 20.000 hektare di kawasan Palembang, Sumatera Selatan, pada 2014 lalu.
Dalam persidangan yang digelar akhir tahun lalu itu, Parlas menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan pemerintah terlalu lemah. Lagi pula anak perusahaan Sinar Mas (Asia Pulp and Paper) itu juga memiliki perangkat pengendali kebakaran. Selain itu, kebakaran lahan yang kembali terjadi pada tahun berikutnya di areal yang sama tidak serta merta merusak lingkungan karena bisa kembali ditanami akasia.
Pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menyatakan, kegagalan pemerintah menuntut ganti rugi senilai Rp 7,8 triliun kepada PT BMH disebabkan dalil-dalil hukum penggugat yang tidak terlalu kuat. “Kalau mau adil, kesalahan juga ada di penggugat. Pelanggaran hukum yang dituduhkan tidak begitu jelas. Hanya sebatas kerusakan lahan,” kata Mas Achmad Santosa dalam diskusi “Bedah Kasus Putusan PT BMH dan Nasib Penegakan Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan” di Thamrin School, Jakarta, Senin (11/1). “Maka, ketika Hakim Parlas mengatakan tidak ada lahan yang dirusak, tuntutan ganti rugi tidak lagi relevan.”
Hal senada diungkapkan Togu Manurung, analis kehutanan dari Thamrin School. Menurut Togu, kasus kebakaran lahan yang melibatkan perusahaan hutan tanaman industri (HTI) tersebut harus diletakkan secara objektif. “Dalam pembelaannya, PT BMH menyatakan mereka tidak mungkin membakar hutannya sendiri karena (tanaman akasia) itu juga termasuk aset mereka. “Bagi saya, argumentasi ini masuk akal, apalagi 2014 bukanlah tahun El-Nino,” katanya.
Togu juga menguraikan fakta bahwa sebagian besar kebakaran terjadi di kawasan hutan milik negara yang tidak ada perizinan, yakni 62 persen. Kawasan hutan tersebut termasuk di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. “Okupasi lahan oleh masyarakat tiap tahun kian menjadi-jadi,” ujar Togu.
Namun demikian, ia juga memandang perlunya kontrol pemerintah, terutama dalam memperketat regulasi dan melakukan evaluasi terhadap sistem keamanan perusahaan-perusahaan tersebut. “Salah satu poin pembelaan mereka (PT BMH) adalah karena kekurangan bahan/alat pemadam kebakaran. Ini menjadi aneh karena seharusnya pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi kepada mereka.”
Mas Achmad Santosa menambahkan, perdebatan tentang memadai atau tidaknya sarana, prasarana, standar operasional prosedur, dan petugas pemadaman api, misalnya, tidak perlu terjadi jika penggugat menerapkan konstruksi hukum pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).
Dalam perspektif lain, pegiat keberlanjutan Jalal melihat cukong (perantara) menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam setiap kasus kebakaran hutan. “Jika kita melihat hasil penelitian CIFOR (Center for International Forestry Research), saya kira mereka (cukong) menjadi pihak paling diuntungkan. Mereka menjadi perantara bagi pemilik lahan (masyarakat adat) dengan perusahaan-perusahaan kelapa sawit,” kata Jalal.
Yang perlu juga diingat, perusahaan-perusahaan besar tidak bodoh-bodoh amat untuk melakukan pembakaran hutan yang bisa memperburuk citra mereka. “Maka, di sini hadir ‘perusahaan perantara’ yang biasa diisi cukong-cukong itu.”
Selain itu, menurut Jalal, dalam konteks penegakan hukum, para hakim terlalu lemah dan hanya menjadi corong undang-undang yang hanya melihat konten bukan konteks. “Penggugat terlalu banyak berdebat dan sibuk mencari kesalahan tergugat dengan dalil perbuatan melawan hukum (PMH), padahal aturan legal yang disediakan sudah jauh lebih kuat”.
Untuk merespons putusan PN Palembang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengajukan banding dengan dibantu para pakar hukum. “Kami sedang menyiapkan banding dan telah mengundang 23 ahli hukum bidang lingkungan dan administrasi,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.